"Sekecil apa pun “kebenaran” akan sangat bermakna, ketimbang tebar pesona tanpa fakta, apalagi mengada – ada, agar menjadi viral dan terlihat fenomenal, meski kadang tak selaras dengan etika dan moral..” kata Harmoko.
Jauh sebelum momen pemilu acap diramaikan dengan politik pencitraan, setelah pemilu selesai, berlanjut dengan politik tebar pesona. Ini sebatas istilah karena baik pencitraan dan tebar pesona, keduanya adalah sama sebangun.
Yang hendak disampaikan adalah dalam dunia politik tak lepas dari segala atraksi politik untuk membangun simpati, mengerek elektabilitas dan popularitas.
Ini sah – sah sah saja, karena kedua pola dimaksud bagian dari strategi politik yang dibangun untuk mendapatkan dukungan publik, baik ketika masih menjadi kandidat maupun setelah menjabat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Warisan Politik
Ada semacam adagium bahwa pencitraaan atau tebar pesona hendaknya tiada henti dilakukan. Kian kuat tebar pesona dan pencitraan, semakin dikenal publik, yang pada ujungnya menumbuhkan ketertarikan.
Tentu, jika pesona yang ditebarkan penuh dengan kejujuran, bukan kebenaran semu, apalagi palsu. Sebab, sesuatu yang semu akan menghasilkan dukungan semu, elektabilitas semu dan popularitas di atas kertas.
Ada kata bijak mengatakan bahwa kebenaran akan tetap menjadi benar, jika diucapkan secara benar, diterapkan secara baik dan benar pula. Kebenaran “semu”, jika diterapkan dengan ragu, setengah hati. Kebenaran “palsu”, jika diterapkan hanya untuk mengikuti hawa nafsu.
Kita semua tentu tidak ingin kebenaran palsu tumbuh subur menebarkan aroma "kebohongan" yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dapat pula menimbulkan rasa saling curiga, salah paham dan menajamnya perselisihan.
Itulah sebabnya sejak negeri ini berdiri menegakkan kebenaran dan keadilan telah menjadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Ajakan "berani membela kebenaran dan keadilan" secara gamblang dirinci dalam butir - butir pengamalan sila kedua falsafah bangsa, Pancasila.
Baca Juga: Kopi Pagi: Anak Hebat Bermartabat
Kita sebagai warga negara, sebagai anak bangsa ikut pula berkewajiban mengamalkan, mulai dari masing – masing individu, keluarga, dan masyarakat secara bersama – sama. Terlebih para elite politik, sebagai tokoh panutan.
Perlu diingat, kebenaran bukanlah hiasan kata- kata, tetapi fakta dan realita nyata sesungguhnya. Cermin kebenaran akan terukur dari sikap dan perilaku nyata setiap manusia di mana pun berada, apa pun profesi dan latar belakangnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sekecil apa pun “kebenaran” akan sangat bermakna, ketimbang tebar pesona tanpa fakta, apalagi mengada – ada, agar menjadi viral dan terlihat fenomenal, meski tak selaras dengan etika dan moral.
Kita paham, politik pencitraan dan tebar pesona sangat erat dengan penggunaan simbol-simbol yang dibangun oleh sang aktor politik beserta tim suksesnya, relawannya.
Ada yang menggunakan simbol religi, budaya, kuasa, nasionalis dan simbol-simbol lain yang ditempelkan pada diri sang elite agar melekat dalam hati masyarakat.
Di era media digital ini, simbol – simbol praktis dan unik cukup populer digunakan, belakangan cukup ngetren dengan singkatan nama tokoh agar mudah diingat oleh masyarakat. Terlihat pula dinarasikan sebagai kenyataan yang natural, bukan kebohongan publik dari hasil “blusukan” yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sang tokoh datang semuanya senang. Sang idola bertandang, semua masalah langsung terselesaikan. Benarkah demikian? Jawabnya tentu akan beragam.
Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Balas Budi
Yang jelas, rakyat berharap apa pun pesona yang ditebar adalah benar adanya, bukan mengada- ada, bukan pula propaganda semata. Lebih – lebih menabrak etika dan adab budaya bangsa.
Di era sekarang kian dibutuhkan elite politik, pemimpin yang berbudi bawa laksana – artinya pemimpin yang memiliki kelebihan dalam tata nilai, moral , berbudi luhur dan murah hati. Maknanya memiliki rasa empati tinggi, kepedulian dan senang membantu anak buahnya, warganya yang mengalami kesulitan.
Disinilah perlunya publik lebih kritis menyikapi politik tebar pesona yang digelontorkan melalui media sosial bukan sebatas tontonan unik dan menarik, tetapi lebih memaknai konten yang ditebar. (Azisoko)