Konser JKT48 Full House Diwarnai Tagar Encore dan Tangis Haruka, Ada Apa dengan Fufuritsu?

Minggu 27 Jul 2025, 18:23 WIB
JKT48 Diterpa Badai Kritik di Twitter, Konser Full House Berubah Jadi Panggung Kekecewaan Penggemar (Sumber: X/@updatesjekeyti)

JKT48 Diterpa Badai Kritik di Twitter, Konser Full House Berubah Jadi Panggung Kekecewaan Penggemar (Sumber: X/@updatesjekeyti)

POSKOTA.CO.ID - Pada pertengahan Juli 2025, konser spesial bertajuk FULL HOUSE oleh JKT48 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, sempat menyita perhatian nasional. Namun, bukan hanya karena kemegahannya, melainkan karena satu momen sunyi yang tak biasa: tidak ada satu pun teriakan "Encore!" dari penggemar.

Dalam budaya idol, encore adalah bagian sakral dari akhir konser momen di mana penggemar meminta member kembali ke atas panggung untuk satu penampilan terakhir yang penuh semangat.

Namun, konser ini justru mencetak sejarah sebagai konser JKT48 pertama tanpa encore. Dan di titik inilah semua keganjilan bermula.

Baca Juga: Dari Sorotan Panggung ke Usaha Rumahan, Perjalanan Baru Pinkan Mambo

Tangisan Haruka Nakagawa dan Luka yang Tak Terucap

Salah satu sorotan emosional dari konser ini adalah kehadiran Haruka Nakagawa, eks-member JKT48 generasi pertama dan juga mantan member AKB48. Haruka membawakan lagu dengan penuh emosi, namun di penghujung konser terlihat menangis.

Banyak yang awalnya mengira tangisan itu sebagai luapan haru. Namun netizen segera mengungkap bahwa Haruka menangis bukan karena bahagia, melainkan karena kecewa. Tak ada teriakan encore, tak ada tepukan serempak, tak ada seruan cinta dari ribuan penonton seperti dulu kala.

Twitter menjadi panggung perasaan kolektif:

  • "Haruka tampak menangis karena dicemooh dan tidak ada encore dari penggemar," tulis akun @updatesjekeyti.
  • "Selamat @officialJKT48 sudah mencetak sejarah konser tanpa Encore," ujar akun lainnya.

Encore: Sebuah Simbol Tak Tertulis dari Penggemar

Encore bukan hanya tradisi, tetapi representasi dari hubungan batin antara penggemar dan idol. Dalam setiap konser JKT48 sebelumnya, encore adalah titik klimaks—penggemar meneriakkan dengan kompak, penuh cinta dan antusiasme. Itu adalah bentuk terima kasih dan permintaan akan momen terakhir yang berkesan.

Ketika tradisi itu lenyap begitu saja di FULL HOUSE, maknanya menjadi jelas: ada luka yang belum sembuh, ada jarak yang semakin membesar antara panggung dan kursi penonton.

Skandal Fufuritsu dan Akar Protes Penggemar

Mengapa penggemar memilih diam? Banyak yang mengaitkannya dengan skandal yang melibatkan General Manager JKT48, Fufuritsu alias Fritz Fernandez. Skandal itu bermula dari unggahan Instagram Fritz pada 2021 yang memuat gambar kue ulang tahun dengan bentuk dan tulisan yang dianggap tak pantas.

Meski Fritz mengklaim bahwa foto itu diambil di luar konteks dan tidak melibatkan member JKT48, namun sentimen negatif sudah terlanjur menyebar. Banyak penggemar—terutama yang sudah mengikuti sejak awal era JKT48—merasa kecewa dan marah. Apalagi, belum ada sanksi atau permintaan maaf resmi dari manajemen hingga konser digelar.

Desakan mundur kepada Fritz pun menggema. Bahkan beberapa wota (sebutan untuk penggemar idol) menghubungi langsung pendiri AKB48 Group, Yasushi Akimoto, untuk menyampaikan protes.

Diam sebagai Bentuk Perlawanan

Di konser FULL HOUSE, fans memilih diam bukan karena tidak peduli, tapi justru karena terlalu peduli. Diam adalah bentuk perlawanan sunyi yang amat keras—lebih tajam dari teriakan, lebih dalam dari boikot.

Tradisi encore yang hilang di konser ini menjadi simbol bahwa ada sesuatu yang rusak dalam hubungan antara fans dan manajemen. Fans merasa manajemen tidak cukup melindungi member, tidak transparan, dan mengabaikan aspirasi komunitas.

Dunia maya pun merespons:

  • Tagar #FufuritsuOUT menjadi trending.
  • Forum-forum penggemar membahas perlakuan manajemen yang dinilai tidak adil.
  • Banyak penggemar lama menyatakan bahwa mereka memilih mundur perlahan dari fandom.

Perspektif Manusia: Fans Juga Ingin Didengar

Dalam industri idol, hubungan fans dan idol bukan hanya soal uang atau merchandise. Ini adalah hubungan emosional dua arah. Ketika penggemar merasa kepercayaan mereka dikhianati, mereka tak hanya kecewa—mereka terluka.

Konser yang seharusnya menjadi ajang nostalgia dan reuni justru menjadi tempat pembuktian bahwa cinta butuh kepercayaan untuk terus tumbuh. Haruka menangis bukan hanya karena tidak ada encore, tapi karena dia merasakan ada luka di antara idol dan penggemarnya.

Apa yang Bisa Dipelajari Manajemen dari Kejadian Ini?

Fenomena no encore ini menjadi tamparan bagi manajemen JKT48. Ini bukan soal teknis atau sekadar koordinasi penonton, tetapi masalah lebih dalam: krisis kepercayaan.

Manajemen perlu:

  1. Mendengarkan aspirasi fans secara terbuka dan transparan.
  2. Bertanggung jawab atas skandal yang mencoreng nama grup.
  3. Menjaga integritas hubungan dengan member dan penggemar.
  4. Mengakui kesalahan dan membangun kembali kepercayaan secara jujur.

Baca Juga: Spesifikasi dan Harga POCO X5 5G

Apakah Ini Akhir dari Era JKT48?

Tidak. Namun jelas ini adalah babak baru. Babak di mana fans tidak hanya mengidolakan, tetapi juga menuntut etika. Babak di mana konser bukan hanya tentang panggung megah, tapi juga tentang komunikasi yang setara antara penggemar dan pengelola.

Jika JKT48 ingin tetap relevan dan dicintai, maka suara diam dari konser FULL HOUSE harus menjadi panggilan refleksi, bukan dibungkam atau diabaikan.

Konser JKT48 FULL HOUSE adalah pengingat bahwa loyalitas fans bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan tiket atau lampu panggung. Loyalitas dibangun dari rasa percaya, dari komunikasi yang jujur, dan dari penghormatan terhadap nilai-nilai yang mereka pegang.

Di balik tangisan Haruka Nakagawa, ada jutaan perasaan yang tak terucap. Dan mungkin, justru dalam keheningan konser itu, kita mendengar suara yang paling nyaring: bahwa cinta sejati dari fans bukan hanya memuja, tapi juga berani mengkritik demi perubahan.


Berita Terkait


News Update