Ilustrasi judi online atau judol. (Sumber: POSKOTA | Foto: Bilal Nugraha Ginanjar)

Nasional

600 Ribu Lebih Penerima Bansos Terindikasi Main Judol, Pakar: Perlu Aturan Tegas dan Database Akurat

Minggu 27 Jul 2025, 20:23 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sebanyak 603.999 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima bantuan sosial (bansos) di Indonesia diduga terlibat dalam aktivitas judi online (judol).

Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan judol tidak mengenal batas kelas ekonomi. Sehingga perlunya pendekatan khusus untuk menangani judol, terutama di kalangan masyarakat miskin.

“Perlu sekali (pendekatan berbeda). Sebenarnya jika pemerintah memiliki database yang baik dan aturan yang tegas, maka pemerintah bisa menentukan kalau penerima bansos itu syaratnya tidak boleh terlibat judi online,” ujar pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, saat dihubungi, Poskota, Minggu, 27 Juli 2025.

Alfons menyarankan agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdeteksi bermain judi online dapat menjadi dasar untuk mendiskualifikasi satu keluarga dari daftar penerima bansos.

Namun demikian, ia juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan aturan ini. Ia juga merekomendasikan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan efektivitas kebijakan dan penyempurnaan database agar semakin akurat.

Baca Juga: Ratusan Ribu Penerima Bansos Terindikasi Main Judol, Kemensos Evaluasi KPM Secara Ketat

“Hal ini harus dijalankan dengan sangat selektif dan tepat sasaran, jangan sampai salah data atau data NIK dipalsukan lalu jadi sasaran salah blokir. Awal-awal pasti banyak salah, namun harus belajar dan cepat diperbaiki,” ucap Alfons.

Menurut Alfons, pemberantasan judol bukanlah soal teknologi yang tidak memadai atau kurangnya keseriusan pemerintah.

Alfons mengatakan, sebenarnya ini bukan masalah teknologi yang dimiliki oleh pemerintah itu mumpuni atau tidak serius. Namun, memang judol memiliki karakteristik yang jauh lebih sulit ditangani dibandingkan judi offline.

“Judi offline saja tidak mudah dibasmi karena terkadang ada keterlibatan aparat. Tetapi judi offline ancamannya relatif lebih rendah karena sifatnya offline, sehingga mudah diawasi dan dibatasi pengaksesnya,” beber Alfons.

Judol, lanjut Alfons, merupakan ancaman yang lebih berbahaya karena memanfaatkan akses internet yang tidak terbatas secara fisik. Sasarannya masyarakat umum, khususnya menengah bawah.

Pengelola judol memanfaatkan rasa candu bermain judi dengan memberikan kemenangan semu dan mimpi-mimpi mendapatkan keuntungan.

"Padahal kemenangan ditentukan oleh bandar," kata Alfons.

Alfons memaparkan tiga alasan utama mengapa judol sulit diberantas. Pertama, judol memanfaatkan internet yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa batasan geografis.

Kedua, sifat anonimitas internet memungkinkan pelaku memalsukan identitas, menyulitkan penegak hukum untuk menindak.

Baca Juga: Uang Bansos Diduga Dipakai Judol, Pengamat: Bisa Jadi Ada Penyalahgunaan Data

Ketiga, pengelola judol sering beroperasi dari luar negeri, menargetkan pengguna internet di Indonesia. Sehingga hal ini menyulitkan aparat untuk menindak langsung pelaku.

“Karena sifat internet yang global, pengelola judi online ini tidak berdomisili di Indonesia. Ini membuat aparat dan pihak berwenang kesulitan menindak pelaku secara langsung,” tutur Alfons.

Selain itu, Alfons menegaskan bahwa pemberantasan judol memerlukan kombinasi aturan tegas, database yang akurat, dan kerja sama lintas negara untuk menangani pelaku yang beroperasi dari luar Indonesia.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya edukasi masyarakat agar tidak mudah tergiur janji kemenangan dari judol.

"Dengan pendekatan yang terarah dan evaluasi berkelanjutan, saya optimistis permasalahan ini dapat ditekan meski tantangannya tidak ringan," ucap Alfons.

Tags:
Alfons Tanujayabansos ratusan ribu penerima bansos main judoljudi onlinejudol

Ali Mansur

Reporter

Mohamad Taufik

Editor