POSKOTA.CO.ID - Fenomena sound horeg, parade sound system dengan ukuran raksasa dan dentuman suara menggelegar, menjadi tren baru di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan.
Meski kerap dianggap sebagai hiburan lokal dan ajang eksistensi komunitas sound system, praktik ini juga menimbulkan polemik serius karena getaran suara yang mengganggu, bahkan hingga merusak rumah warga dan fasilitas umum.
Dalam banyak video yang viral di media sosial, tampak kerusakan jalan, pingsannya warga sekitar, bayi menangis, hingga ibu-ibu menutup telinga karena tidak tahan dengan kerasnya dentuman suara. Bahkan ada laporan bahwa parade sound horeg terpaksa merusak pagar, tembok, atau fasilitas desa demi “akses jalan”.
Dilema antara hiburan dan ketertiban sosial inilah yang dibahas secara menyeluruh dalam khutbah Jumat oleh Ustadz Ajie Najmuddin dari MWCNU Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah. Dalam ceramahnya, ia menyoroti bagaimana hiburan yang berlebihan bisa berubah menjadi bentuk kezaliman sosial.
Baca Juga: Erika Carlina Akui Polisikan DJ Panda soal Ancaman dan Penyebaran Data Pribadi
Suara Boleh Merdu, Tapi Jangan Sampai Melampaui Batas
Islam tidak melarang manusia untuk menikmati hiburan. Bahkan Allah SWT menegaskan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 87:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ayat ini menjadi dasar bahwa selama sesuatu tidak dilarang, maka boleh dilakukan. Namun batasannya adalah jangan sampai melampaui batas, termasuk dalam menikmati musik, hiburan, atau bentuk budaya lokal seperti sound horeg.
Dalam pandangan Islam, melampaui batas dalam hal volume suara yang mengganggu kenyamanan dan hak hidup orang lain—apalagi hingga merusak rumah atau fasilitas umum—telah masuk dalam kategori zalim.
Dari sisi kemanusiaan, kita harus bertanya: apakah hiburan yang membuat bayi menangis, orang sakit menderita, dan lansia tidak bisa tidur, masih bisa dianggap layak?
Realitas masyarakat kita masih banyak yang hidup berdekatan secara fisik rumah berdempetan, jalan sempit, dan tidak semua orang memiliki toleransi yang sama terhadap suara keras. Dalam konteks ini, sound horeg kehilangan sisi empati sosial, karena mengejar sensasi suara tanpa memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan sekitar.
Ini bukan sekadar soal kebisingan, tapi tentang menghargai hak orang lain untuk hidup dengan tenang.
Polusi Suara adalah Polusi Jiwa
Dalam khutbah tersebut, Ustadz Ajie Najmuddin menekankan bahwa kebisingan berlebihan dari sound horeg bisa digolongkan sebagai polusi suara yang berbahaya. Sama halnya dengan pencemaran lingkungan, polusi suara juga merusak kualitas hidup manusia.
Tidak sedikit warga yang merasa tertekan secara psikologis karena gangguan suara. Efeknya bisa berupa:
- Gangguan tidur berkepanjangan
- Tekanan darah tinggi
- Peningkatan stres
- Gangguan tumbuh kembang bayi
- Trauma suara untuk anak kecil
Dari sisi hukum Islam, ini berhubungan langsung dengan larangan menzalimi sesama makhluk Allah.
Sound Horeg dan Potensi Kezaliman
Salah satu hadits Qudsi yang populer berbunyi:
"Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman pada Dzat-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu sebagai perilaku yang diharamkan di antara kalian. Karenanya janganlah kalian saling menzalimi." (HR Muslim).
Maka tindakan yang mengganggu, merusak, atau menyakiti warga sekitar, apalagi hanya untuk hiburan segelintir orang, jelas tergolong perbuatan zalim.
Islam mendorong keseimbangan antara hak pribadi dan kewajiban sosial. Bahkan dalam hal makan pun, berlebihan disebut makruh hingga haram. Apalagi jika bentuk berlebihan itu menghasilkan kerusakan nyata terhadap lingkungan sosial.
Kerusakan yang Mengalahkan Manfaat
Seringkali argumen pembela sound horeg adalah soal kebudayaan lokal, kreativitas anak muda, dan kebebasan berekspresi. Namun kaidah fiqih Islam jelas menegaskan:
“Mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.”
(Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih)
Jika manfaat dari hiburan ini hanya dirasakan oleh segelintir panitia atau komunitas, tapi kerugiannya meluas—baik secara fisik, sosial, maupun psikologis maka secara moral dan syar’i, kegiatan ini harus dikritisi dan dikendalikan.
Solusi dan Etika Sosial: Bijak dalam Berekspresi
Fenomena ini memberi pelajaran penting bahwa setiap bentuk ekspresi publik, terutama yang bersifat fisik dan massal seperti parade sound system, harus berlandaskan etika sosial. Solusi yang bisa dikedepankan antara lain:
- Penetapan zona khusus untuk kegiatan sound horeg jauh dari pemukiman
- Batasan desibel yang diizinkan oleh aparat
- Pengawasan ketat dari pemerintah desa
- Edukasi publik soal dampak polusi suara
- Kampanye empati sosial lewat media sosial
Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk menjembatani antara ekspresi budaya dan nilai kemanusiaan.
Baca Juga: KIP Gelar Talkshow dan Soft Launching Pameran Keterbukaan Publik 2025
Mengakhiri dengan Renungan
Dalam khutbah penutup, Ustadz Ajie Najmuddin mengajak umat untuk selalu menjaga keadaban dan memelihara hubungan sosial yang sehat. Ia menekankan pentingnya takwa, empati, dan introspeksi dalam setiap tindakan.
“Jangan sampai niat kita untuk senang-senang, justru menjadi sebab kesengsaraan orang lain.”
Kita diajak untuk merenung: Apakah hiburan kita membuat orang lain bahagia, atau malah sengsara?
Fenomena sound horeg sejatinya bukan hanya soal suara, tapi soal nilai. Apakah kita memilih untuk hidup bersama dalam harmoni atau dalam hiruk pikuk ego dan kebisingan?
Sebagai manusia, kita diberi akal dan hati. Dua anugerah ini seharusnya cukup untuk membuat kita tahu kapan harus bersenang-senang, dan kapan harus berhenti demi kebaikan bersama.