POSKOTA.CO.ID - Dalam sebuah wawancara eksklusif di kanal YouTube kasisolusi, Timothy Ronald, yang dikenal sebagai investor muda dan edukator finansial, menyampaikan analisis jujurnya tentang arah perekonomian Indonesia. Dengan gaya bicara yang lugas namun bernas, Timothy memberikan masukan mengenai kebijakan ekonomi nasional serta visi pembangunan di era Presiden Prabowo Subianto.
Ia menyebut target pertumbuhan ekonomi 8% sebagai ambisi besar yang layak diapresiasi. Namun, menurutnya, angka saja tidak cukup jika tidak disertai pemerataan. “Pertumbuhan tinggi tidak berguna jika di daerah seperti Wonogiri atau ujung Maluku masih terjebak dalam kemiskinan,” ujar Timothy. Pernyataannya ini mengingatkan kita bahwa statistik makroekonomi bisa menipu jika tidak mencerminkan realitas di akar rumput.
Banyak yang menganggap generasi muda cenderung apatis terhadap isu ekonomi makro. Namun Timothy membalik asumsi itu. Sebagai figur publik yang naik daun karena edukasi finansial di media sosial, ia memposisikan dirinya sebagai penghubung antara pemerintah dan generasi milenial serta Gen Z.
Timothy bukan sekadar pengamat, ia juga seorang praktisi pasar keuangan. Itulah mengapa ia menyuarakan kebutuhan akan reformasi struktural yang tidak hanya berpihak pada kota besar, tetapi juga pada daerah tertinggal. Ia mengajak publik, khususnya pemuda, untuk peduli pada arah ekonomi bangsa.
Baca Juga: Ngaku Sulit Dapat Kerja, Pria di Depok Ini Nekat Curi Mixer Musala demi Nafkahi Keluarga
Menyoroti Ketimpangan dan Solusi: Subsidi Manufaktur
Salah satu saran konkret dari Timothy adalah memberikan subsidi pada sektor manufaktur. Menurutnya, Indonesia terlalu lama bergantung pada produk impor. Untuk menjadi negara produsen, bukan hanya konsumen, maka manufaktur harus digalakkan.
“Kita terlalu banyak bergantung pada impor. Sektor manufaktur perlu digenjot agar kita bisa menjadi produsen, bukan hanya penjual,” jelasnya.
Pernyataan ini mencerminkan semangat ekonomi kerakyatan yang berbasis pada produksi domestik. Jika Indonesia mampu memproduksi barang sendiri, bukan tak mungkin defisit neraca perdagangan dapat ditekan dan rupiah menjadi lebih stabil.
Inspirasi dari China: Ketahanan dan Infrastruktur
Timothy juga menyarankan agar Indonesia belajar dari China, negara yang berhasil keluar dari kemiskinan masif dalam waktu singkat. Keberhasilan Tiongkok terletak pada dua aspek kunci: pembangunan infrastruktur dan penguatan manufaktur.
“China berhasil menciptakan infrastruktur modern dan manufaktur kuat dalam waktu singkat. Indonesia harus belajar dari mereka jika ingin menjadi negara superpower,” tegasnya.
Ketahanan Pangan: Fondasi Inklusivitas Ekonomi
Dalam diskusi tersebut, Timothy memuji program makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo. Baginya, ketahanan pangan bukan hanya soal perut kenyang, melainkan prasyarat utama pembangunan manusia.
“Jika perut lapar, bagaimana seseorang bisa menerima edukasi atau berinovasi? Pemerintah harus memastikan rakyat kenyang dulu sebelum fokus ke pendidikan dan inovasi,” katanya penuh empati.
Pernyataan ini mengandung filosofi sederhana namun kuat: manusia tidak bisa berkembang dalam kondisi kelaparan. Ketahanan pangan adalah bentuk paling nyata dari perlindungan negara terhadap warganya.
Timothy mengingatkan bahwa sering kali kita terjebak dalam narasi angka angka pertumbuhan, angka inflasi, angka ekspor—tetapi lupa pada manusia yang menjadi subjek pembangunan. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika masih banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi? Di sinilah pentingnya empati dalam kebijakan ekonomi.
Pendidikan dan Inovasi sebagai Pilar Masa Depan
Setelah kebutuhan dasar seperti makanan dan kesehatan terpenuhi, Timothy menilai pendidikan dan inovasi menjadi kunci berikutnya. Ia percaya bahwa pendidikan yang bermutu akan menciptakan sumber daya manusia yang siap berinovasi dan membangun bisnis.
“Negara maju menjadikan ketahanan pangan sebagai yang pertama dan mendasar, lalu pendidikan, inovasi, hingga kapitalisasi pasar modal yang kuat,” kata Timothy.
Dalam urutan logis ini, kita bisa melihat pendekatan sistematis: mulai dari kebutuhan dasar, lalu pendidikan sebagai jembatan menuju masa depan, dan akhirnya ekonomi yang ditopang oleh inovasi serta kapitalisasi yang sehat.
Kapitalisasi Pasar Modal: Potensi Besar yang Belum Tergarap
Timothy juga mendorong peran pasar modal sebagai instrumen penggerak pertumbuhan ekonomi. Ia melihat bahwa Indonesia masih belum maksimal dalam menggali potensi ini.
Bagi Timothy, bursa saham bukan hanya ajang spekulasi, tetapi cerminan dari kepercayaan investor pada ekonomi nasional. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif agar bisnis lokal tumbuh dan layak go public.
Apresiasi pada Gaya Kepemimpinan Prabowo
Menariknya, Timothy tak segan memuji gaya kepemimpinan Prabowo Subianto yang dinilainya tulus dan berorientasi pada rakyat. “Prabowo sudah tidak mencari keuntungan pribadi. Beliau hanya ingin rakyatnya maju. Pemimpin seperti ini yang kita butuhkan,” ungkapnya.
Meski berasal dari generasi muda, Timothy tidak terjebak dalam sikap sinis terhadap politik. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa anak muda bisa bersikap kritis sekaligus apresiatif terhadap pemerintah yang bekerja dengan hati.
Baca Juga: Dukung Pemberdayaan UMKM dan PKL, Bank Jakarta Kolaborasi dengan APKLI Perjuangan
Optimisme dan Tantangan Menuju 2045
Pandangan Timothy mencerminkan optimisme terukur. Ia tidak menutup mata terhadap tantangan seperti kesenjangan wilayah, ketergantungan impor, dan lemahnya pasar modal domestik. Namun, ia juga melihat peluang besar terutama jika kebijakan dijalankan dengan konsisten dan berpihak pada rakyat.
Menuju tahun 2045, saat Indonesia merayakan satu abad kemerdekaan, pertanyaan mendasarnya adalah: akankah kita menjadi negara maju atau tetap terjebak dalam siklus negara berkembang?
Timothy Ronald telah memberikan blueprint sederhana namun menyeluruh untuk membangun ekonomi Indonesia: mulai dari ketahanan pangan, pendidikan, inovasi, hingga kapitalisasi pasar. Yang dibutuhkan kini adalah eksekusi, bukan wacana.
Ia mengajak generasi muda untuk tidak tinggal diam. Bahwa peran kita sebagai warga negara bukan hanya memilih pemimpin, tapi juga mengawal arah kebijakan. Ia mengingatkan: masa depan bukan untuk ditunggu, tapi dibentuk