Kopi Pagi: Politik Balas Budi. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Politik Balas Budi

Kamis 17 Jul 2025, 06:33 WIB

"Jangan sampai jabatan balas budi melahirkan kebijakan balas budi, program bantuan menyasar balas budi, bukan mengutamakan kepentingan masyarakat..” kata Harmoko.

Bagi - bagi jabatan kepada koleganya bukanlah hal yang baru dan tabu. Bukan baru, karena bagi - bagi jabatan kepada mereka yang telah berjasa sudah terjadi sejak dulu. Sering disebut sebagai politik balas budi.

Bukan tabu, karena memberikan sesuatu, sebut saja hadiah jabatan kepada mereka yang telah berjasa bukanlah pelanggaran. 

Sudah dianggap hal yang  lumrah, tak ubahnya  memberikan hadiah sebagai ucapan terima kepada mereka yang dengan tulus ikhlas membantu menyelesaikan urusan kita.

Menjadi tabu, jika hadiah jabatan itu kemudian disalahgunakan, diselewengkan, dipergunakan untuk memperkaya dirinya, keluarganya dan koleganya. 

Baca Juga: Kopi Pagi: Babak Baru Perang Dagang Dunia

Jika hadiah jabatan itu dijadikan bancakan, bukan amanah yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat.

Bicara politik balas budi sejatinya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, sebagai panggilan moral dan hutang budi pemerintah kolonial untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi.

Sejumlah literatur menyebutkan, panggilan moral itu kemudian dituangkan melalui kebijakan politik etis di antaranya dengan membangun irigasi, bendungan untuk pertanian. Memperluas pendidikan untuk kalangan rakyat biasa serta pendirian bank kredit rakyat, subsidi industri dan kerajinan, yang bertujuan mulia untuk kesejahteraan seluruh penduduk pribumi saat itu, sekitar tahun 1901.

Meski di sana - sini masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, tetapi dampak positif politik etis, masih dapat dirasakan, sebut saja dengan dibangunnya jalur kereta api di Pulau Jawa. Di Batavia ( Jakarta), mulai dibangun jalur kereta untuk trem listrik.

Baca Juga: Kopi Pagi: Koperasi untuk Kita

Yang hendak kami sampaikan adalah politik balas budi itu sebagai panggilan moral pemerintah untuk menyejahterakan dan membahagiakan seluruh warganya, masyarakatnya.

Mengapa? Jawabnya karena setiap warga masyarakat, apa pun status dan kedudukannya, sekecil apa pun ikut berkontribusi membangun negara, tentu, sesuai dengan profesinya.

Maknanya kesejahteraan yang hendak dibagikan bukan perorangan atau sekelompok orang tertentu, tetapi untuk semua orang. Bukan hanya kepada warga yang telah berjasa karena mendukungnya dalam pemilu lalu, misalnya, tetapi kepada semua warga negara yang telah ikut menyukseskan pemilu, meski mendukung calon lain.

Kebijakan ini pula yang hendaknya dituangkan melalui politik etis sebagai balas budi kepada seluruh anak negeri. Tanpa terkecuali, tanpa pula beda perlakuan berdasarkan aspirasi dan dukungan politik tertentu.

Jika balas budi hanya diberikan kepada sekelompok orang dekatnya yang telah berjasa, sah - sah saja, sebagai balas budi pribadi. 

Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Mencerahkan, Bukan Melelahkan

Bukan politik balas budi seperti dimaksudkan tadi, lebih - lebih jika hadiah jabatan tanpa mempertimbankan kompetensi, akseptabilitas, kapabilitas dan elektabilitas yang bersangkutan. 

Asal comot, yang penting ambisi balas budi pribadi terpenuhi.

Jika sudah demikian, pantaskah masih disebut politik etis? Jawabnya tentu akan beragam.

Bicara etis berarti tentang hal baik dan buruk, pantas dan tidak pantas selaras dengan norma sosial yang sudah berlaku dalam masyarakat.

Begitupun yang menguji politik etis dan tidak etis adalah publik. Boleh jadi terdapat beda tafsir, bagi pemberi hadiah jabatan, masih disebut etis, tetapi tidak demikian dengan publik.

Seperti halnya pengangkatan 30 wakil menteri menjadi komisaris BUMN yang bekangan menjadi perhatian publik. 

Yang menuai sorotan bukan soal boleh dan tidaknya pejabat negara menjadi komisaris di badan usaha milik negara, tetapi lebih kepada etika dan rangkap jabatan. 

Selain, soal kompetensi dan kapabilitas dengan jabatan dimaksud guna menghindari kesan bagi -bagi kursi demi balas budi pribadi.

Balas budi tidaklah dilarang, bahkan ada pepatah mengatakan“ utang budi dibawa sampai mati” - maknanya anjuran agar kita selalu ingat atas jasa seseorang.

Yang perlu dicegah, dalam konteks membangun bangsa dan negara, jangan sampai jabatan balas budi melahirkan kebijakan balas budi, program bantuan pun menyasar balas budi, bukan mengutamakan kepentingan masyarakat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. 

Baca Juga: Kopi Pagi: Kembali Kepada Konstitusi Negara

Kita tentu tak ingin mencuat kesan terbangunnya ego kelompok kekuasaan, terlebih jika tak selaras dengan aspirasi dan kepentingan publik.

Sebab apapun kepentingannya, yang namanya ego kelompok tidaklah elok, di tengah upaya terus merajut kerukunan dan persatuan guna menghadapi kian beragamnya tantangan.

Di tengah upaya pemerintah menyatukan kekuatan seluruh komponen masyarakat dalam  membangun bangsa dan negara.

Pemerintah hendaknya kian memperbanyak dan memaksimalkan ruang – ruang partisipasi dalam menyelesaikan 'konflik' secara bersama – sama. Tujuannya, merobohkan dinding pemisah antara kelompok yang satu dengan lainnya, kadang dinarasikan kelompok pendukung dan kontra. (Azisoko)

Tags:
jabatanHarmokoKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor