“Gimana kita mau mengatakan bahwa di negara kita ini sulit pekerjaan, sementara pada saat yang bersamaan ada segelintir orang, jumlahnya tidak banyak, pekerjaannya berlipat ganda?” ujarnya.
Fenomena rangkap jabatan ini menurutnya bukan hanya memperlihatkan ketidakseimbangan distribusi pekerjaan, tapi juga menciptakan kesan bahwa hanya sedikit orang yang dianggap mampu menjabat posisi strategis.
“Seakan-akan kita krisis SDM. Seakan-akan yang mampu bekerja itu orangnya itu-itu saja,” kata Adi menanggapi dominasi pejabat yang memegang lebih dari satu posisi.
Ia menegaskan bahwa kondisi ini menjadi tidak sensitif secara moral dan ekonomi, terutama di tengah kenyataan bahwa jutaan masyarakat masih berjuang mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai sekitar 7,28 juta orang. Angka tersebut disebut sebagai “fakta yang tidak bisa habis dibantah” oleh Adi.
Isu Etika dan Profesionalisme
Rangkap jabatan memang tidak melanggar hukum positif atau konstitusi, namun Adi menyoroti aspek moral dan etika dari praktik tersebut.
“Konstitusi tidak dilanggar, hukum tidak ada yang mengharamkan rangkap jabatan. Tapi secara etik moral, secara ekonomi-politik ini tentu tidak sensitif,” jelasnya.
Baca Juga: Profil Tina Talisa Stafsus Gibran Dari Presenter TV ke Komisaris Pertamina Patra Niaga
Ia mempertanyakan kemampuan para pejabat yang memegang beberapa jabatan sekaligus untuk memberikan kontribusi maksimal, baik bagi negara maupun lembaga yang mereka wakili.
“Publik ingin mengatakan bahwa jangan sampai posisinya sebagai pejabat publik digaji menggunakan uang rakyat, tapi tidak bisa kerja maksimal karena begitu banyak kerjaan sampingan lainnya,” imbuhnya.
Bonus Demografi dan Harapan yang Tertahan
Dalam konteks bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045, Adi menilai bahwa kesempatan bagi anak muda masih sangat terbatas akibat dominasi para pejabat lama yang masih aktif merangkap jabatan.