POSKOTA.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal tidak lagi diselenggarakan secara serentak mulai 2029.
Keputusan ini mengubah sistem pemilu serentak yang diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan membawa implikasi besar terhadap jadwal politik nasional dan daerah, termasuk potensi perpanjangan masa jabatan kepala daerah.
"Pemilu nasional itu memilih Presiden, Wakil Presiden, memilih anggota DPR dan DPD, yang selama ini disatukan dan hanya berjarak beberapa minggu. Itu membuat publik seolah-olah stres karena lama sekali harus mengikuti pemilu serentak," ujar pengamat politik Rocky Gerung dalam wawancara bersama jurnalis senior Hersubeno Arief, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Minggu, 29 Juni 2025.
Putusan MK ini menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu lokal akan berjarak minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
Hal ini dianggap sebagai bentuk perbaikan sistem yang menanggapi dampak negatif dari pemilu serentak sebelumnya, seperti beban psikologis pemilih dan tekanan logistik partai.
“Jadi ini satu terobosan yang memungkinkan ada konsolidasi partai setelah capek, habis uang di pemilu nasional. Nah, dia masih punya waktu dua tahun untuk mempersiapkan kader-kader lokalnya,” ujar Rocky.
Ia menilai keputusan MK ini sebagai "terobosan" yang dapat memperkuat demokrasi dan mengurangi praktik politik uang (money politics).
Namun, keputusan tersebut juga menimbulkan pertanyaan mengenai masa jabatan pejabat publik yang terdampak oleh jeda waktu antar pemilu, seperti kepala daerah atau anggota legislatif yang masa tugasnya bisa diperpanjang.
“Apakah perpanjangan itu justru menimbulkan moral hazard atau cawe-cawe di antara mereka yang memperoleh tambahan kekuasaan dua atau dua setengah tahun?” tanya Rocky.
Ia menggarisbawahi pentingnya legitimasi dalam masa perpanjangan yang tidak didasarkan pada pemilihan langsung.
Dalam konteks politik nasional, keputusan MK ini juga dinilai mengurangi potensi dominasi pusat terhadap daerah yang selama ini terjadi melalui penunjukan pejabat sementara (Plt) oleh pemerintah pusat ketika masa jabatan kepala daerah berakhir sebelum pemilu.
"Kalau di era Jokowi, kan, kemudian ini ditunjuk Plt yang waktunya bisa dua tahun. Ini bagian dari pengendalian aparatur negara sampai level daerah. Jadi, mandat dari rakyat itu diambil alih oleh Jokowi," kata Hersubeno Arief.
Baca Juga: Polemik Pengalihan Empat Pulau di Aceh, Rocky Gerung Singgung Dinasti Jokowi
Rocky menambahkan bahwa pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal akan memberi kesempatan bagi partai untuk meningkatkan kualitas kader mereka.
Ia menyatakan bahwa selama ini partai politik cenderung hanya menjadi “loket” bagi kepentingan oligarki, bukan lembaga kaderisasi.
“Ada tim nasional di 2029, tim berikutnya mungkin 2031 baru mulai bekerja. Jadi, sekali lagi, ini kesempatan secara institusional untuk memperkuat proses pengkaderan partai,” ujarnya.
Keputusan MK ini juga membuka peluang bagi partai politik untuk mengembangkan sekolah-sekolah politik dan menyusun kurikulum yang lebih sistematis guna menghasilkan pemimpin yang mumpuni di semua tingkatan pemerintahan.