Agam Rinjani Buka Suara: Kronologi Mengejutkan di Balik Penyelamatan Pendaki Brazil yang Terpeleset di Jurang Rinjani 600 Meter

Minggu 29 Jun 2025, 07:09 WIB
Kronologi Lengkap Evakuasi Juliana Marins yang Jatuh 600 Meter di Gunung Rinjani (Sumber: Youtube/@PodcastBicaraSanta)

Kronologi Lengkap Evakuasi Juliana Marins yang Jatuh 600 Meter di Gunung Rinjani (Sumber: Youtube/@PodcastBicaraSanta)

POSKOTA.CO.ID - Gunung Rinjani yang menjulang megah di Pulau Lombok dikenal sebagai salah satu destinasi pendakian paling menantang di Asia Tenggara.

Namun di balik pesona puncaknya yang menakjubkan, gunung ini menyimpan risiko fatal bagi siapa pun yang tidak mempersiapkan diri secara optimal. Peristiwa yang menimpa pendaki asal Brazil, Juliana Marins, menjadi bukti betapa tak terduganya situasi yang dapat terjadi.

Sosok Agam Rinjani, pria asli Makassar yang telah lama berkecimpung dalam dunia penyelamatan di kawasan pegunungan Indonesia, menjadi figur sentral dalam operasi evakuasi berisiko tinggi tersebut.

Kisah perjuangan tim yang dipimpin Agam viral di berbagai platform digital, terutama setelah ia menceritakan sendiri detil kronologinya melalui kanal YouTube @PodcastBicaraSantai.

Baca Juga: Kecelakaan Mobil Pikap Terbalik di Tol Cikampek, Ikan Lele Berserakan

Menurut pengakuan Agam, kabar mengenai jatuhnya Juliana pertama kali diketahui dari unggahan video drone yang menampilkan keberadaan korban dalam keadaan masih hidup. Informasi itu kemudian menyebar cepat di media sosial, menimbulkan keresahan publik internasional.

“Kami mulai koordinasi via HT, sempat menghubungi SAR Lombok Timur, dan akhirnya menyusun rencana menuju lokasi pada tanggal 26,” ujar Agam dalam wawancara tersebut.

Persiapan dan Penerbangan ke Lombok

Pada saat kabar itu muncul, Agam bersama rekan-rekannya sebenarnya sedang berada di Bogor untuk diskusi program pelatihan dan peningkatan keselamatan jalur pendakian. Namun, situasi darurat yang kian mendesak membuat mereka memutuskan menghentikan kegiatan dan segera berangkat menuju Lombok.

Tim membawa berbagai perlengkapan teknis yang tidak umum digunakan dalam evakuasi standar. Salah satunya ialah tali khusus sepanjang lebih dari 1.000 meter, yang dirancang untuk skenario penyelamatan dari kedalaman ekstrim. Hal ini dipersiapkan karena perkiraan posisi jatuhnya korban mendekati dasar jurang yang sulit dijangkau secara konvensional.

Setibanya di Lombok, Agam langsung mengatur porter tambahan, memastikan logistik pendakian terpenuhi, dan mengonfirmasi titik koordinat yang terekam oleh drone.

Pendakian Menuju Pelawangan Sembalun

Tim evakuasi memilih jalur Sembalun sebagai rute naik karena aksesnya yang relatif lebih memungkinkan dibandingkan jalur lain. Namun, medan tetap sangat ekstrem.

Tim SAR Lombok Timur bahkan sudah bermalam dua malam di tebing, bertahan dengan peralatan seadanya. “Mereka tidur tanpa tenda, hanya beralaskan matras tipis, menghadapi suhu yang turun drastis pada malam hari,” kata Agam.

Setelah bergabung, Agam memimpin proses pemantapan anchor (penopang tali) dengan cara mengebor batu tebing. Kegiatan ini memakan waktu berjam-jam, karena struktur batuan sangat rapuh. Salah satu anggota tim SAR harus berjaga di titik jatuhnya Juliana sendirian, sementara anggota lain ditarik turun demi keselamatan.

Penemuan Juliana dalam Kondisi Meninggal

Hasil pemantauan visual akhirnya memastikan kabar duka. Juliana Marins telah meninggal dunia di kedalaman sekitar 600 meter dari bibir tebing. Bagi Agam dan tim, kabar ini menambah tekanan emosional karena harapan untuk menemukan korban selamat pupus.

Meski demikian, proses evakuasi jenazah tetap harus dilakukan dengan prosedur seaman mungkin. Awalnya, tim mempertimbangkan membawa jenazah ke arah Danau Segara Anak. Namun setelah analisa langsung di lapangan, jalur tersebut dinilai jauh lebih berbahaya karena batuan lepas yang rawan longsor.

“Akhirnya kami putuskan untuk menarik jenazah ke atas, meski medannya luar biasa sulit,” jelas Agam.

Malam Panjang di Tebing 600 Meter

Tim memulai evakuasi pukul 06.00 pagi setelah malam tanpa tidur. Mereka bermalam di lereng dengan kemiringan hampir 45 derajat, tanpa atap atau alas yang memadai. Hanya tiga meter dari posisi jenazah Juliana, mereka bertahan dalam suhu rendah yang menusuk tulang.

Agam menegaskan risiko yang dihadapi sangat tinggi: longsor, hipotermia, dan batuan runtuh bisa terjadi setiap saat. “Kalau malam itu turun hujan, kami semua mungkin sudah mati,” ungkapnya.

Bendera Merah Putih Sebagai Simbol Tanggung Jawab

Salah satu momen yang banyak diperbincangkan netizen adalah saat tim evakuasi membawa bendera Merah Putih ke lokasi penarikan jenazah. Tindakan itu bukan sekadar simbolisme, melainkan bentuk tanggung jawab moral menjaga nama baik Indonesia di mata dunia.

“Kami bawa bendera bukan karena simbol semata, tapi sebagai penghormatan terakhir dan representasi bahwa Indonesia hadir membantu siapapun yang membutuhkan,” kata Agam.

Kritik Netizen dan Klarifikasi Medan Ekstrem

Dalam proses evakuasi yang memakan waktu beberapa hari, sempat muncul kritik dari sebagian warganet yang menilai upaya penyelamatan berlangsung lambat. Namun Agam dengan tegas meluruskan bahwa kondisi medan tak bisa dibandingkan dengan jalur pendakian biasa.

“Banyak yang tidak tahu, medan vertikal seperti itu berbeda sekali. Tidak mungkin kita berlari atau bergerak cepat. Semua langkah harus dihitung dengan akurat,” jelasnya.

Baca Juga: Warga Bangkonol Pandeglang Tolak Sampah dari Tangsel: Kami yang Merasakan Dampak Buruknya

Respon Publik Brazil dan Apresiasi Internasional

Setelah kronologi evakuasi diunggah di berbagai kanal YouTube dan media daring, ribuan komentar simpati datang, terutama dari warga Brazil. Banyak di antaranya mengungkapkan rasa terima kasih mendalam kepada tim penyelamat Indonesia.

Salah satu akun YouTube @seseducation1392 menulis:

“Mental antara hidup dan mati sudah sama bagi mereka. Terima kasih kepada Pak Agam Rinjani dan semua relawan yang sudah mempertaruhkan nyawa demi membantu Juliana.”

Refleksi dan Pesan Keselamatan

Kisah ini menjadi pelajaran penting mengenai risiko pendakian gunung yang sering diabaikan oleh pendaki internasional maupun lokal. Tanpa perencanaan matang, kondisi fisik prima, dan mitigasi risiko yang ketat, insiden serupa bisa terulang.

Agam pun menekankan bahwa keselamatan adalah prioritas utama:

“Tidak ada puncak yang lebih berharga dari nyawa.”


Berita Terkait


News Update