POSKOTA.CO.ID - Tepat pada 27 April 1999, sejarah tata kelola wilayah Jabodetabek mencatat peristiwa penting, yakni Kota Depok resmi berpisah dari Kabupaten Bogor dan berdiri sebagai daerah otonom.
Keputusan ini bukan sekadar administratif, melainkan hasil dari proses panjang yang dilandasi kebutuhan mendesak akan efektivitas pemerintahan dan pelayanan publik.
Sebagai bagian dari wilayah utara Kabupaten Bogor, Depok sebelumnya berstatus kecamatan.
Kedekatannya dengan Jakarta menjadikan Depok kawasan strategis yang menarik minat masyarakat ibu kota untuk menetap. Hal ini mendorong pembangunan kawasan pemukiman besar seperti Perumnas Depok I dan II, Depok Timur, dan Depok Tengah.
Baca Juga: Polres Cimahi Tangani Kasus Dugaan Penipuan Konsumen Perumahan Pramestha Lembang
Pertumbuhan Urbanisasi dan Ledakan Penduduk
Posisi geografis Depok yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan menyebabkan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, terutama karena menjadi lokasi ideal bagi para komuter. Mereka bekerja di Jakarta namun mencari hunian yang lebih terjangkau dan nyaman di luar ibu kota.
Konsekuensinya, beban pelayanan publik meningkat drastis. Pemerintah Kabupaten Bogor kala itu kesulitan mengatur wilayah Depok secara efektif karena keterbatasan jarak, sumber daya, dan rentang kendali administratif.
Awal Perubahan dengan Status Kota Administratif
Untuk mengatasi problematika tersebut, pada tahun 1982 pemerintah pusat menaikkan status Depok menjadi Kota Administratif (Kotif).
Status ini mengubah struktur wilayah dengan membagi Kecamatan Depok menjadi tiga wilayah, yaitu Beji, Pancoran Mas, dan Sukmajaya.
Namun, meskipun terjadi peningkatan status, Kotif belum memberikan otonomi penuh.
Depok masih berada dalam struktur pemerintahan Kabupaten Bogor. Segala kebijakan strategis tetap bergantung pada otoritas kabupaten.
Penghapusan Status Kotif dan Momentum Otonomi
Akhir dekade 1990-an menjadi titik balik penting ketika pemerintah pusat memutuskan untuk menghapus status Kota Administratif di seluruh Indonesia.
Keputusan ini memaksa daerah seperti Depok untuk menentukan arah masa depan, yaitu tetap menjadi bagian dari kabupaten induk atau naik status menjadi kotamadya otonom.
Didorong oleh pembangunan infrastruktur yang pesat dan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang efisien dan dekat, aspirasi untuk otonomi daerah kian menguat di Depok.
Baca Juga: Siapa Pencuri di Kost Reizuka Ari? Viral Aksi Pencurian yang Terjadi di Kost Milik TikToker
Legislasi dan Pembentukan Kota Depok
Akhirnya melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999, pemerintah pusat meresmikan pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok.
Undang-undang ini sekaligus menjadi landasan hukum bagi pemisahan administratif Depok dari Kabupaten Bogor.
Sebagai bagian dari restrukturisasi wilayah, Kota Depok tak hanya mempertahankan kecamatan sebelumnya, tetapi juga memperluas wilayahnya dengan memasukkan Kecamatan Cimanggis, Limo, dan Sawangan.
Ini menandai babak baru bagi Depok dalam menjalankan fungsi pemerintahan secara mandiri.
Langkah pemisahan ini merupakan keputusan strategis yang tidak hanya berdampak pada struktur pemerintahan, tetapi juga pada percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan administrasi, hingga pengelolaan tata ruang kota.
Sebagai kota penyangga Ibu Kota Jakarta, Depok memegang peranan vital. Keberadaannya yang kini berdiri sebagai daerah otonom memungkinkan pengambilan keputusan lebih responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi setempat.
Baca Juga: Pengembangan Kopi Gununghalu Mandeg, Warga Keluhkan Minimnya Dukungan
Refleksi 26 Tahun
Kini setelah 26 tahun berjalan sebagai kota mandiri, Depok telah mengalami banyak transformasi.
Dari hanya sebagai pemukiman pinggiran, kini menjelma menjadi kota dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, sektor pendidikan yang maju, dan infrastruktur publik yang berkembang pesat.
Meski masih dihadapkan pada berbagai tantangan urban, seperti kemacetan, tata ruang, dan kepadatan penduduk.
Kemampuan otonomi daerah memungkinkan pemerintah kota mengambil kebijakan yang lebih tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan lokal.