Iran, yang telah menghadapi sanksi AS sejak Revolusi Islam 1979, merespons dengan serangan balasan yang mengejutkan. “Iran bukan milisi, melainkan negara dengan mekanisme kaderisasi yang kuat.
Tidak ada kekosongan kekuasaan meski petingginya tewas,” kata Assegaf. Serangan Iran menghantam Tel Aviv dan Haifa, dua kota strategis Israel.
Dua hari setelah serangan Iran, Netanyahu meminta bantuan Amerika Serikat, yang segera memberikan dukungan meski tanpa persetujuan Kongres AS.
Baca Juga: Iran Umumkan Akhir Perang 12 Hari Melawan Israel, Ini Pernyataan Resminya
“Dan Amerika membuktikan kesetiaannya kepada Israel. Ini aneh ya, ketika tidak didukung oleh Kongres, tidak ada persetujuan Kongres, tidak didukung oleh mayoritas rakyat Amerika, ternyata Trump memberikan pembelaan kepada Netanyahu,” ujar Assegaf.
Ia juga menyebut serangan AS ke Iran sebagai “simbolik”, mengingat bom yang dijatuhkan tidak mampu menembus kedalaman reaktor Fordo, yang terletak 840 meter di bawah tanah, dibandingkan bunker Hizbullah yang hancur pada September 2024.
Konflik ini meningkatkan ketegangan regional, dengan Iran dan Israel saling tuding bertanggung jawab atas eskalasi.
Pengamat memperingatkan bahwa langkah Netanyahu dapat memperburuk citra Israel di mata dunia, yang sudah terpukul akibat agresi militer di Gaza.