Harga energi yang melonjak tajam diperkirakan akan memicu inflasi global, mengganggu pasar keuangan, serta memperlambat pemulihan ekonomi pascapandemi dan ketegangan perang dagang yang masih berlangsung.
Dampak Ekonomi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, sebagai negara yang masih bergantung pada impor minyak mentah dan LPG, situasi ini memicu sejumlah risiko serius, terutama dalam sektor energi dan stabilitas harga.
Berikut adalah lima dampak utama penutupan Selat Hormuz terhadap ekonomi Indonesia:
1. Gangguan Pasokan Energi Global
Indonesia mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya dari kawasan Teluk. Jika ekspor dari sana terganggu, pasokan minyak dan gas bisa menipis, membuat biaya pengadaan energi melonjak.
2. Harga Minyak dan LPG Meroket
Kenaikan harga minyak internasional secara langsung akan menaikkan harga minyak mentah dan LPG impor Indonesia. Hal ini bisa membebani neraca perdagangan dan memperlebar defisit transaksi berjalan.
3. Harga BBM Nasional Berpotensi Naik
Pemerintah dihadapkan pada dilema antara menaikkan harga bahan bakar atau menambah subsidi energi. Keduanya memiliki implikasi terhadap daya beli masyarakat dan APBN.
4. Biaya Logistik Meningkat
Kenaikan harga BBM otomatis berdampak pada sektor transportasi dan logistik. Tarif angkut barang bisa naik, yang kemudian akan meningkatkan harga bahan pokok seperti beras, daging, dan sayuran.
5. Inflasi dan Daya Beli Melemah
Inflasi yang tinggi dapat menekan daya beli rumah tangga. Jika tidak dikendalikan, Bank Indonesia kemungkinan harus menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan harga.
Baca Juga: Rusia Ungkap Fakta Mengejutkan: Sejumlah Negara Siap Kirim Senjata Nuklir ke Iran!
Ketergantungan Global pada Selat Hormuz
Menurut data International Energy Agency (IEA), dari total ekspor minyak yang melewati Selat Hormuz, sekitar 38 persen berasal dari Arab Saudi.
Negara-negara seperti Qatar, Bahrain, dan Kuwait sangat bergantung pada selat ini karena tidak memiliki rute laut alternatif.
Kapasitas pipa darat melalui Saudi dan Uni Emirat Arab hanya mampu menyalurkan 6,5–7,5 juta barel per hari, jauh di bawah total kebutuhan.