"Jokowi bukan nabi dalam pengertian wahyu, tetapi dalam pengertian sosial: penunjuk jalan dalam krisis politik dan moral publik. Itu pandangan pribadi saya sebagai warga negara," tegasnya.
Menanggapi tudingan bahwa ucapannya merupakan bentuk penistaan agama, Dedy menyayangkan adanya standar ganda dalam masyarakat.
Ia mencontohkan bahwa menyebut Jokowi sebagai nabi dianggap menyinggung, namun menyamakannya dengan diktator seperti Fir’aun justru kerap dianggap wajar sebagai kritik.
Baca Juga: Transformasi Staf Pelatih Persija Jakarta, Macan Kemayoran Rasa Negeri Samba di Liga 1 Musim Depan
"Jika menyebut Jokowi memenuhi syarat sebagai nabi dianggap ‘menista agama’, tapi menyamakannya dengan diktator dianggap kritik biasa, maka kita sedang mengalami keruntuhan moral estetik," tulisnya.
Lebih lanjut, Dedy menyatakan bahwa ia siap berdialog dengan pihak mana pun yang merasa tersinggung, namun menolak untuk langsung meminta maaf tanpa kejelasan pelanggaran hukum yang nyata.
Ia mengajak publik untuk lebih bijak dalam membedakan antara bahasa literal dan simbolik, serta memahami konteks intelektual dalam menyampaikan pendapat.
"Sebelum minta maaf atas sesuatu, mari kita pastikan dulu: apakah saya melanggar hukum? Apakah saya menyerang agama, atau hanya menggunakan metafora untuk mengapresiasi kepemimpinan Jokowi?" ujarnya.
Dedy juga menegaskan bahwa dirinya bukanlah penyembah atau pemitos tokoh politik mana pun, melainkan seseorang yang mengagumi tokoh bangsa melalui perspektif reflektif dan kritis.
"Saya mengagumi, bukan menyembah. Saya mengkritisi, bukan memitoskan," tulisnya di akhir klarifikasi.
Dedy Nur Palakka sendiri merupakan kader PSI yang diketahui gagal dalam dua kali pencalonan legislatif, pada Pemilu 2019 dan 2024. Meski demikian, ia tetap aktif menyuarakan pandangan politik dan sosial melalui berbagai platform, terutama media sosial.
Ia juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi, yakni lulusan S2 dan S3 bidang teknik dari Hiroshima University, Jepang.