Polemik Pengalihan Empat Pulau Aceh, Pengamat Politik Kritik Keras Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Sumut Bobby Nasution

Sabtu 21 Jun 2025, 14:01 WIB
Pengalihan empat pulau Aceh menuai polemik. (Sumber: Google Maps 2025)

Pengalihan empat pulau Aceh menuai polemik. (Sumber: Google Maps 2025)

POSKOTA.CO.ID – Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menetapkan empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara menuai polemik nasional. Keempat pulau tersebut sebelumnya secara administratif termasuk dalam wilayah Aceh.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 yang ditandatangani pada 25 April 2025. Namun, keputusan tersebut menuai kecaman luas dari publik dan pemangku kepentingan Aceh.

“Keputusan Tito ini menjadi kontroversial. Karena masyarakat semua tahu bahwa Gubernur Sumut itu katanya kebetulan-kebetulan menantunya Jokowi. Jadi seolah-olah Tito ini tanda petik, kok mau mencari apa ini? Mencari muka kepada Pak Jokowi, sehingga membuat keputusan memasukkan pulau-pulau di Aceh itu menjadi wilayahnya Sumatera Utara. Jadi kayak hadiah yang diberikan kepada Bobby,” ujar pengacara sekaligus aktivis Abraham Samad dalam sebuah diskusi publik, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP pada Sabtu, 21 Juni 2025.

Baca Juga: 4 Pulau Kembali ke Aceh, Gubernur Muzakir Manaf Pastikan Kondisi Damai

Abraham Samad menilai keputusan tersebut memicu kemarahan masyarakat Aceh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang juga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat itu menjadi viral dan mendorong Presiden untuk turun tangan.

“Alhamdulillah, Presiden Prabowo membatalkan keputusan Mendagri dan mengembalikan keempat pulau tersebut ke Aceh,” tambah Samad.

Sementara itu, Pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional (UNAS), Selamat Ginting, yang turut meliput perjanjian serupa di era 1990-an, mengkritik keputusan Tito karena dinilai mengabaikan sejarah dan kesepakatan formal antara Aceh dan Sumatera Utara.

“Saya tahu sejarah itu. Ada empat yang dibahas di situ. Bagaimana keputusan tentang perjanjian tahun 1992 ini yang menurut saya aneh kemarin ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak memasukkan perjanjian itu di dalam klausul-klausul, sehingga keputusan ini menjadi kontroversi,” jelas Ginting.

Baca Juga: Sah Milik Aceh, Apa Saja Daftar 4 Pulau yang Sempat Jadi Ajang Tarik Ulur Dua Provinsi?

Dalam perjanjian 1992 itu, terdapat beberapa poin penting:

  • Keempat pulau masuk dalam wilayah administratif Aceh.
  • Sumut tidak boleh mengklaim atau menerbitkan izin usaha di wilayah tersebut.
  • Pengelolaan sumber daya alam menjadi hak penuh Aceh.

Kerja sama hanya sebatas teknis, seperti konservasi laut lintas batas.

“Nah, kesepakatan ini ditandatangani di Jakarta dan betul-betul ditandatangani secara ikhlas oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar,” tegas Ginting.

Ia juga menyinggung kurangnya pemahaman sejarah oleh Gubernur Sumatera Utara saat ini, Bobby Nasution.

“Makanya saya bilang tadi kalau dia tahu sejarah bagaimana misalnya Sumatera Utara itu rela berdarah-darah untuk Aceh. Itu enggak tahu karena Bobby enggak tahu sejarah. Dan juga bagaimana rakyat Aceh membantu Sumatera Utara perang Medan Area melawan Belanda,” ucapnya.


Berita Terkait


News Update