”Nrimo ing pandum” – menerima apa yang telah diberikan, itulah filosofi warga desa pada umumnya.
Itulah gambaran warga desa yang “cerdas” dan “waras”. Cerdas karena mampu beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan.
Memanfaatkan sumber daya alam sebagai penghidupannya, bukan merusaknya. Itulah warga yang waras, sehat jasmani dan rokhaninya.
Perilaku lainnya yang perlu diteladani bersahabat dengan alam adalah hemat air dalam bercocok tanam, hemat air pula dalam kebutuhan sehari – hari.
Baca Juga: Kopi Pagi: Bangga Produk Indonesia
Ini yang perlu diedukasi sejak dini, tak hanya di daerah gersang, tadah hujan, bahkan di daerah dengan sumber air melimpah.
Fakta tidak terbantahkan, posisi Indonesia yang terletak di daerah tropis dan dilintasi garis khatulistiwa menjadikan negeri kita hanya memiliki dua musim, penghujan dan kemarau.
Yang terjadi, sering terdengar ungkapan: Ketika musim hujan datang, banjir menerjang, begitu kemarau tiba, kekeringan pun melanda. Air pun menjadi barang langka, swasembada pangan pun bisa terkendala.
Acap kekeringan melanda areal persawahan yang tersebar di daerah penyumbang terbesar stok pangan nasional. Jika gagal panen, cadangan stok pangan nasional akan terganggu yang akan berakibat buruk juga di sektor lainnya.
Karenanya sumber air perlu kita jaga untuk anak cucu keturunan kita, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Lagi pula agama apa pun mengajarkan agar kita senantiasa hidup hemat, termasuk menggunakan air.
Kita dibekali akal agar mampu olah pikir bagaimana menyeimbangkan pola hidup serasi dan bersahabat dengan alam dan lingkungan, bukan sebaliknya merusaknya dengan semena – mena.