Kopi pagi: Bersahabat Dengan Alam (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi pagi 19 Juni 25: Bersahabat Dengan Alam

Kamis 19 Jun 2025, 06:00 WIB

“Kita dibekali akal agar mampu olah pikir bagaimana menyeimbangkan pola hidup serasi dan bersahabat dengan alam dan lingkungan, bukan sebaliknya merusaknya dengan semena – mena. Ini bisa dimulai sejak dini melalui kebiasaan ( habit) dalam lingkungan keluarga.” kata Harmoko.

Kita sering mendengar slogan agar senantiasa bersahabat dengan alam. Sebagai ajakan untuk meningkatkan kepedulian kepada alam sekitar kita, lingkungan kita sebagai sumber kehidupan.

Peduli berarti tidak merusak, tetapi merawat dan menjaganya serta melestarikannya.

Sayangnya, acap slogan sebatas retorika yang jauh dari aksi nyata. Kepedulian sebatas pernyataan dan imbauan.

Baca Juga: Kopi pagi: Selamatkan Lingkungan Kita

Tak sedikit proyek pembangunan masih mempertontonkan kurangnya kepedulian terhadap lingkungan alam, jika tidak disebut merusak alam.

Acap terdengar warga terpinggirkan karena terkena proyek pembangunan yang mengatasnamakan demi investasi.

Warga yang sejak turun temurun telah menempati desanya,, merawat lingkungan alam sekitar, terpaksa dipindahkan.

Pembangunan memang untuk rakyat, tetapi bukan lantas meminggirkan rakyat yang sejak awal telah bersusah payah merawat alamnya sebagai sumber penghidupan.

Perlu ada kesimbangan antara kepentingan pembangunan dengan keberlangsungan hidup warga masyarakat setempat sebagaimana menyelaraskan kehidupan dengan alam sekitar.

Fakta tidak terbantahkan bahwa masyarakat pedesaan selama, yang mayoritas menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian selama ini telah ikut berkontribusi membanguan negeri.

Ikut menyediakan bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, buah dan sayur – mayur  bagi bangsa Indonesia.

Baca Juga: Kopi Pagi: Rela Berkorban, Kenapa Tidak

Era sekarang ini, peran mereka sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkan swasembada pangan yang sedang digelorakan pemerintah. Tak hanya swasembada pangan, juga energi dan air.

Kuncinya adalah bagaimana bersahabat dengan alam, karena dari alamlah swasembada dapat  diwujudkan.

Alam yang rusak dan porak poranda akibat alih fungsi lahan yang semena- mena,  pemanfaatan sumber daya alam yang kejar target demi kepentingan bisnis semata, akan menghambat swasembada.

Lantas bagaimana perilaku bersahabat dengan alam? Jawabnya cukup beragam, tetapi pola kehidupan masyarakat pedesaan bisa menjadi acuan.

Mereka sadar betul bahwa sumber kehidupannya dari alam sekitar karenanya mitigasi bencana yang dikaitkan dengan sumber penghidupan dilakukan secara konsisten, terus menerus tiada henti.

Mitigasi terhadap bencana longsor, banjir di saat musim penghujan serta  kekeringan ketika musim kemarau.

Sering kita saksikan masyarakat secara swadaya mengantisipasi dengan menghijaukan lereng – lereng, sistem tanam tumpang sari dikembangkan dengan mengganti tanaman perusak menjadi komoditas penguat tanah, sekaligus menghasilkan.

Baca Juga: Kopi Pagi: Indahnya Saling Berbagi

Alhasil, masyarakat dapat menghidupi dirinya dari alam sekitar yang dirawat, dilestarikannya.

Berapapun yang didapat dari alam, mereka senang, nyaman dan bahagia. Urip sak madyo -  secukupnya. Tidak neko – neko, tidak serakah dengan menghancurkan alam.

”Nrimo ing pandum” – menerima apa yang telah diberikan, itulah filosofi warga desa pada umumnya.

Itulah gambaran warga desa yang  “cerdas” dan “waras”. Cerdas karena mampu beradaptasi dan bersahabat dengan lingkungan.

Memanfaatkan sumber daya alam sebagai penghidupannya, bukan merusaknya. Itulah warga yang waras, sehat jasmani dan rokhaninya.

Perilaku lainnya yang perlu diteladani bersahabat dengan alam adalah hemat air dalam bercocok tanam, hemat air pula dalam kebutuhan sehari – hari.

Baca Juga: Kopi Pagi: Bangga Produk Indonesia

Ini yang perlu diedukasi sejak dini, tak hanya di daerah gersang, tadah hujan, bahkan di daerah dengan sumber air melimpah.

Fakta tidak terbantahkan, posisi Indonesia yang terletak di daerah tropis dan dilintasi garis khatulistiwa menjadikan negeri kita hanya memiliki dua musim, penghujan dan kemarau.

Yang terjadi, sering terdengar ungkapan: Ketika musim hujan datang, banjir menerjang, begitu kemarau tiba, kekeringan pun melanda. Air pun menjadi barang langka, swasembada pangan pun bisa terkendala.

Acap kekeringan melanda areal persawahan yang tersebar di daerah penyumbang terbesar stok pangan nasional. Jika gagal panen, cadangan stok pangan nasional akan terganggu yang akan berakibat buruk juga di sektor lainnya.

Karenanya sumber air perlu kita jaga untuk anak cucu keturunan kita, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Lagi pula agama apa pun mengajarkan agar kita senantiasa hidup hemat, termasuk menggunakan air. 

Kita dibekali akal agar mampu olah pikir bagaimana menyeimbangkan pola hidup serasi dan bersahabat dengan alam dan lingkungan, bukan sebaliknya merusaknya dengan semena – mena.

Ini bisa dimulai sejak dini melalui kebiasaan (habit) dalam lingkungan keluarga.

Mari kita gelorakan semangat bersahabat dengan alam. (Azisoko)

Tags:
HarmokoKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor