Sejumlah kendaraan melintas di samping deretan tiang pancang monorel yang belum selesai pengerjaannya di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Mei 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

JAKARTA RAYA

Jejak Mangkrak Monorel Rasuna Said–Senayan dan Dampaknya pada Estetika Jakarta

Kamis 12 Jun 2025, 09:55 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pada awal dekade 2000-an, kemacetan di Jakarta sudah mencapai titik krisis.

Pemprov Jakarta dihadapkan pada tekanan publik untuk menyediakan sistem transportasi massal yang modern dan efisien.

Saat itu, Jakarta belum memiliki moda transportasi rel dalam kota selain KRL Jabodetabek, yang juga belum seefisien sekarang.

Di tengah kondisi tersebut, muncul gagasan untuk membangun sistem monorel — kereta berbasis rel tunggal yang berjalan di atas permukaan jalan melalui jalur melayang.

Sistem ini dianggap sebagai solusi cepat dan canggih, yang tidak akan terganggu oleh kepadatan lalu lintas di bawahnya.

Baca Juga: Pramono Anung Ancam Bongkar Paksa Tiang Monorel jika Adhi Karya Tak Bertindak

Dicanangkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di 2003

Proyek monorel resmi dicanangkan pada tahun 2003, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (menjabat 1997–2007). Sutiyoso dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dalam membangun citra Jakarta sebagai kota metropolitan yang modern.

Visi Sutiyoso adalah menghadirkan dua jalur utama monorel:

1. Green Line: 14,3 km

Dimulai dari stasiun monorel di Casablanca, melewati kawasan sekitar Hotel Gran Melia, Satria Mandala, Kusuma Chandra, Polda Metro Jaya, BEJ, Gelora Bung Karno Senayan, Plaza Senayan, JHCC, gedung MPR/DPR, Taman Ria Senayan, gedung MPR/DPR, Pejompongan, Karet, Sudirman, Setiabudi Utara, Kuningan, Taman Rasuna, kembali ke Stasiun Casablanca.

2. Blue Line: 12,7 km

Dimulai dari Kampung Melayu, melewati kawasan Tebet, Menteng Dalam, Stasiun Casablanca, Ambasador, Stasiun Dharmala Sakti, Menara Batavia, Karet, kawasan Slipi, Cideng, dan berakhir di kawasan Roxy.

Pembangunan diberikan kepada pihak swasta, yaitu PT Jakarta Monorail (JM) sebuah konsorsium antara perusahaan dalam dan luar negeri. Pemerintah saat itu mengklaim bahwa proyek ini tidak akan menggunakan dana APBD dan murni dibiayai swasta melalui skema Build-Operate-Transfer (BOT).

Masalah Muncul Sejak Awal

Meskipun niatnya besar, proyek ini sejak awal menghadapi berbagai masalah mendasar:

Pendanaan yang Tidak Kuat

Investor utama dari luar negeri yang awalnya menyatakan minat, seperti dari Malaysia dan Timur Tengah, kemudian menarik diri karena menilai proyek ini tidak layak secara bisnis. Mereka khawatir pendapatan dari tiket tidak bisa menutupi biaya investasi dan operasional.

Ketiadaan Kepastian Regulasi

Pada masa itu, belum ada kerangka hukum yang jelas mengenai proyek kerja sama pemerintah dan swasta di sektor transportasi. Tidak ada jaminan dari pemerintah, dan ini membuat investor ragu.

Masalah Lahan dan Teknis

Monorel membutuhkan jalur yang melewati trotoar dan tepi jalan utama. Namun, banyak lahan tersebut belum jelas statusnya, atau berada di bawah kontrol pihak ketiga. Selain itu, keberadaan utilitas seperti pipa gas dan kabel listrik bawah tanah belum dipetakan secara lengkap, yang menyulitkan konstruksi.

Baca Juga: Pemprov Jakarta Fokus Pemenuhan Kebutuhan Dasar Warga Terdampak Kebakaran di Kapuk Muara

Masa Akhir Sutiyoso dan Fauzi Bowo

Pembangunan fisik sempat dimulai, dengan beberapa tiang monorel dibangun di titik-titik strategis seperti kawasan Kuningan dan Setiabudi.

Namun, karena tidak ada progres nyata, proyek ini mandek pada tahun 2004–2005, dan secara de facto dihentikan pada 2008, pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo (2007–2012).

Pemerintah tidak mencabut izin proyek secara resmi, namun tidak ada lagi aktivitas konstruksi. Tiang-tiang beton yang sudah terpasang dibiarkan begitu saja — menjadi monumen kegagalan infrastruktur.

Upaya Dihidupkan Kembali oleh Joko Widodo

Dilansir Poskota, kelangsungan pembangunan proyek monorel terancam batal. Hutang PT Jakarta Monorel (PT JM) kepada Adhi Karya sebesar Rp193,6 miliar menjadi ganjalan bagi proyek yang digagas Sutiyoso (periode 1997-2007) lalu.

Hutang PT JM ke PT Adhi Karya berawal saat dibangunnya proyek monorel tahun 2004 . Saat itu, tak ada investor yang melirik proyek tersebut sehingga PT Adhi Karya selaku pemegang saham terbesar, yakni sebanyak 32 persen, harus nombok hingga Rp 192 miliar.

Nilai itu adalah biaya pembangunan 90 tiang monorel di Jl Rasuna Said dan Jl Asia Afrika. Lewat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor296/ Pdt.G/2012/PNJKT. Selatan tanggal 11 September 2012 menyebutkan, yang berhak memiliki aset adalah PT Adhi Karya.

Pengadilan pun mewajibkan PT JM membayar utang yakni sebesar Rp 193,662 miliar.

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menyadari masalah tersebut. Ia mengakui adanya persoalan itu bisa menjadi ganjalan bagi kelangsungan proyek angkutan masal itu.

Namun, mantan Walikota Solo ini yakin proyek pembangunan monorel tidak akan terganggu oleh pembayaran utang tiang monorel oleh PT Jakarta Monorail (JM) kepada PT Adhi Karya. Ia pun mengaku, telah mengkomunikasikan masalah ini dengan kedua belah pihak.

"Saya sudah sampaikan ke Adhi Karya, juga ke PT JM supaya ndak ganggu karena proyek ini sedang berjalan," ujar Jokowi di Balaikota, Selasa (26/11/2014).

Namun, dirinya enggan terlibat lebih jauh untuk penyelesaian utang tersebut. Terlebih, urusan itu bukanlah government to government, melainkan bussines to bussines.

"Terserah mereka. Kita itu urusannya monorel dibangun, terus dimulai, terus jalan, sekarang sampai mana gitu," katanya.

Sejak diresmikan Jokowi, proyek telah jalan satu bulan lebih, PT JM diketahui belum membayar sepeserpun hutangnya.

Beredar kabar, PT JM bersedia membayar jika nilai pondasi di bawah Rp 90 miliar. Direksi PT JM sendiri hingga kini tak pernah mau dikonfirmasi soal besaran nilai utang tersebut.

Ketua DPRD DKI Jakarta H.Ferial Sofyan, mengatakan proyek tersebut tidak boleh terganggu. PT JM harus menyelesaikan persoalan tersebut secepatnya.

“Jangan sampai proyek penting ini terganjal,” katanya.

Menurut Ferial, monorel tersebut dibutuhkan warga. “Bila ada utang piutang memang harus dibereskan. Agar tidak mengganjal program ini,” ujar Ferial.

Baca Juga: Pemprov Jakarta Luncurkan Benyamin Sueb Award, Wagub Rano Karno Teteskan Air Mata

Proyek Resmi Dibatalkan

Akhirnya pada tahun 2015, di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi mencabut izin PT Jakarta Monorail dan membatalkan proyek monorel. Ahok menyebut proyek ini tidak realistis secara teknis dan tidak bisa menyelesaikan masalah transportasi secara menyeluruh.

Sebagai gantinya, Pemerintah DKI lebih memilih fokus pada pengembangan:

Jejak Proyek yang Mangkrak

Sampai kini, tiang-tiang monorel yang sudah terlanjur dibangun masih berdiri di beberapa titik kota Jakarta, seperti di Setiabudi dan Kuningan.

Sebagian digunakan untuk papan reklame, namun banyak juga yang dibiarkan terbengkalai, berlumut, dan menjadi simbol gagalnya sebuah proyek transportasi karena lemahnya perencanaan, manajemen, dan kepemimpinan antar periode.

Gubernur Pramono Akan Bongkar Monorel 2025

Pemprov Jakarta menyampaikan bahwa tiang-tiang monorel di sepanjang jalan Rasuna Said dan Senayan yang menggangu keestetikaan kota Jakarta merupakan milik dari PT. Adhikarya.

"Yang pertama karena tiang monorel itu miliknya PT Adhikarya," ucap Gubernur Jakarta Pramono Anung di Semanggi, Jakarta Selatan, dikutip Rabu 11 Juni 2025.

Baca Juga: Pemprov Jakarta Yakin Bisa Implementasikan Sekolah Swasta Gratis hingga Jenjang SMK

Pramono mengaku telah mengadakan rapat internal yang hasilnya bahwa pembongkaran tiang-tiang monorel itu merupakan tanggung jawab dari PT. Adhikarya.

"Walaupun sudah ada keputusan (Pegawai Negeri) PN dan juga pemerintah Jakarta juga sudah mendapatkan arahan dari Jamdatun. Untuk kemudian yang berhak untuk membongkar adalah Adhikarya," ujar Pramono.

Pramono mengatakan, akan segera menyurati PT. Adhikarya untuk segera membongkar tiang-tiang monorel tersebut.

"Kami akan melakukan menyurati Adhikarya untuk itu," kata Pramono.

Kendati demikian, Pramono menegaskan, jika PT. Adhikarya tidak mampu untuk membongkar tiang-tiang monorel itu. Pihaknya, menyatakan siap turun tangan mengatasi hal tersebut.

"Kalau kemudian Adhikarya katakanlah tidak mampu, maka pemerintah Jakarta akan melakukan tindakan untuk membersihkan. Yang jelas bahwa persoalan hukumnya sekarang sudah kami ketahui secara detail," ujar Pramono. (cr-4)

Tags:
Pramono AnungPT AdhikaryaJokowi Fauzi BowoSutiyosomonorelPemprov JakartaJakartakemacetan

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor