Trump Teken Larangan Perjalanan, Ini Daftar 12 Negara yang Diblokir Masuk AS

Selasa 10 Jun 2025, 10:32 WIB
AS Resmi Larang Masuk Warga dari 12 Negara: Keputusan Trump Tuai Sorotan Dunia (Sumber: Pinterest)

AS Resmi Larang Masuk Warga dari 12 Negara: Keputusan Trump Tuai Sorotan Dunia (Sumber: Pinterest)

POSKOTA.CO.ID - Presiden Donald Trump secara resmi mengaktifkan larangan perjalanan (travel ban) terbaru pada Senin dini hari, 9 Juni 2025. Kebijakan ini langsung menghentikan perjalanan ke Amerika Serikat bagi warga dari 13 negara, serta memberlakukan pembatasan parsial terhadap pelancong dari enam negara lainnya.

Dalam pernyataan resminya, Trump menyebut bahwa kebijakan ini merupakan respons terhadap “ancaman terorisme yang semakin nyata”, merujuk pada insiden serangan terhadap komunitas Yahudi di Colorado yang dilakukan oleh seorang pelaku yang melanggar batas tinggal visa di AS.

“Serangan tersebut memperlihatkan bahaya besar akibat kelonggaran sistem imigrasi kita,” ujar Trump dari Gedung Putih.

Baca Juga: Viral! Ernest Prakasa Hapus Akun X Usai Dihujat Soal Bahas Anggaran Jam Rolex Timnas

Negara-Negara yang Terdampak Larangan Perjalanan

Larangan total diberlakukan terhadap warga dari negara-negara berikut:

  • Afghanistan
  • Myanmar
  • Chad
  • Kongo-Brazzaville
  • Guinea Ekuatorial
  • Eritrea
  • Haiti
  • Iran
  • Libya
  • Somalia
  • Sudan
  • Yaman

Sementara itu, pembatasan parsial diberlakukan terhadap:

  • Burundi
  • Kuba
  • Laos
  • Sierra Leone
  • Togo
  • Turkmenistan
  • Venezuela

Pembatasan ini tidak berlaku untuk visa kerja sementara dalam kategori tertentu, serta atlet yang berlaga di Piala Dunia 2026 dan Olimpiade Los Angeles 2028, serta untuk diplomat aktif dari negara-negara yang disebut.

Alasan Di Balik Kebijakan Travel Ban

Trump menyampaikan bahwa kebijakan ini dirancang untuk “menyaring” individu yang berisiko terhadap keamanan nasional, terutama mereka yang datang dari negara yang tidak memiliki kapasitas administratif untuk memproses paspor, visa, dan sistem pengecekan latar belakang yang andal.

Iran disebut sebagai “negara sponsor terorisme”. Negara-negara seperti Afghanistan, Somalia, dan Yaman dinilai tidak memiliki otoritas pusat yang kredibel karena berada dalam kondisi perang atau konflik berkepanjangan.

Untuk negara-negara lain seperti Laos dan Sierra Leone, Trump menyebutkan tingkat pelanggaran visa yang tinggi sebagai dasar utama pembatasan.

Dampak terhadap Pengungsi: Suara dari Lapangan

Mehria, seorang wanita berusia 23 tahun asal Afghanistan, mengaku sangat terpukul dengan kebijakan ini. Ia telah mengajukan status pengungsi dan menunggu proses ke Amerika Serikat selama lebih dari dua tahun.

“Kami menggantungkan seluruh hidup kami pada janji Amerika. Hari ini, kami hanya bisa menyaksikan mimpi kami terbakar dalam diam,” ujar Mehria kepada AFP.

Kasus Mehria menggambarkan situasi tak menentu yang kini dialami ribuan pengungsi dari negara-negara yang termasuk dalam daftar larangan.

Kritik Internasional dan Reaksi Domestik

Langkah ini memicu kekhawatiran serius dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Turk, menyatakan bahwa “larangan bersifat luas dan diskriminatif ini melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional.”

Anggota Kongres dari Partai Demokrat pun mengecam keras kebijakan ini. Yassamin Ansari, anggota parlemen berdarah Iran-Amerika, menyebut larangan tersebut “xenofobia dan kejam.”

“Saya tahu penderitaan akibat larangan ini karena keluarga saya juga pernah merasakannya. Kami tidak akan tinggal diam,” ujarnya melalui akun X (sebelumnya Twitter).

Kebijakan Keamanan atau Instrumen Politik?

Meski alasan resmi kebijakan ini adalah demi keamanan nasional, banyak analis menilai bahwa keputusan ini sarat kepentingan politik menjelang pemilihan presiden AS tahun 2026.

Trump dinilai menggunakan isu keamanan dan terorisme untuk menggalang dukungan dari pemilih konservatif dan kelompok anti-imigrasi.

Kebijakan serupa sempat diberlakukan pada awal masa jabatan pertamanya di 2017, yang juga menuai gugatan hukum hingga Mahkamah Agung. Meskipun Mahkamah pada saat itu memutuskan bahwa versi akhir dari travel ban tersebut konstitusional, gelombang protes luas tetap menggema.

Keterkaitan dengan Insiden di Colorado

Pemicunya adalah serangan terhadap kelompok Yahudi di Colorado yang dilakukan oleh Mohamed Sabry Soliman, warga Mesir yang diketahui telah melewati batas visa kunjungan dan mengajukan suaka pada 2022.

Meskipun Mesir tidak masuk dalam daftar travel ban terbaru, kasus ini dijadikan justifikasi oleh Gedung Putih bahwa sistem penyaringan visa saat ini “terlalu longgar”.

Pengecualian dan Potensi Perubahan Kebijakan

Trump menyampaikan bahwa daftar negara dapat berubah sewaktu-waktu, bergantung pada dinamika global. “Kami tidak menutup kemungkinan menambahkan lebih banyak negara jika ancaman baru muncul,” tegasnya.

Namun, pengecualian tetap diberlakukan untuk diplomat, atlet, dan pekerja profesional tertentu yang telah mendapatkan visa sebelum tanggal pelarangan.

Baca Juga: Telegram Tiba-Tiba Tidak Bisa Login Hari Ini, Padahal Nomor Sudah Benar? Ini Penjelasannya

Tantangan Hukum dan Masa Depan Kebijakan Imigrasi AS

Sejumlah organisasi HAM dan lembaga bantuan hukum berencana menggugat kebijakan ini di pengadilan federal. Mereka menilai bahwa larangan ini tidak hanya melanggar prinsip non-diskriminasi, tetapi juga membahayakan keselamatan pengungsi yang berada dalam kondisi rentan.

Banyak pihak mempertanyakan bagaimana kebijakan ini akan diterapkan secara praktis, terutama dalam kasus negara-negara yang tidak memiliki sistem administratif yang mapan. Dikhawatirkan, kebijakan ini hanya akan memperumit situasi kemanusiaan tanpa memberikan solusi nyata terhadap ancaman keamanan.

Larangan perjalanan baru Presiden Donald Trump bukan sekadar instrumen kebijakan keamanan, tetapi juga mencerminkan pendekatan politik yang keras terhadap imigrasi.

Meski mengklaim bertujuan melindungi warga AS, kebijakan ini telah menuai kritik luas karena dianggap diskriminatif, tidak manusiawi, dan berpotensi memperkeruh hubungan internasional.

Selama belum ada revisi, ribuan warga negara dari belasan negara kini terjebak dalam ketidakpastian hukum dan politik yang mungkin akan berdampak dalam jangka panjang terhadap masa depan mereka.


Berita Terkait


News Update