Kopi Pagi: Rela Berkorban, Kenapa Tidak

Senin 09 Jun 2025, 06:33 WIB
Rela Berkorban, Kenapa Tidak. (Sumber: Poskota)

Rela Berkorban, Kenapa Tidak. (Sumber: Poskota)

"Tak kalah pentingnya lebih mengedepankan sikap rela berkorban untuk menyamakan persepsi. Selalu berpikir positif (husnudzon), bukan berpikir negatif (zuhudzon) untuk menjaga keharmonisan dan keserasian dalam berbangsa dan bernegara..", kata Harmoko.

Sejarah mencatat negeri kita merdeka karena rakyatnya bahu membahu dan bersatu padu berjuang tanpa kenal lelah. Rela berkorban, tak hanya tenaga, harta benda, juga nyawa sekalipun demi merebut kemerdekaan. Itulah pejuang kemerdekaan.

Era kini, kian dibutuhkan pejuang pembangunan, tampil di depan mengutamakan kepentingan bangsa dengan mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya.

Boleh jadi ungkapan tersebut dinilai terlalu sloganitis, tetapi hendaknya tidak disikapi secara skeptis.

Kita meyakini mengedepankan ego pribadi akan tersingkirkan, jika ada kesadaran diri, utamanya keteladanan dari para pejabat negeri untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

Baca Juga: Kopi Pagi: Indahnya Saling Berbagi

Tak hanya dalam ucapan, tetapi melalui perbuatan yang diimplementasikan dalam kebijakan yang prorakyat, bukan memihak kerabat.

Bukan sebatas pernyataan penuh euforia, bukan pula rekayasa, bukan juga mengada - ada, tetapi fakta adanya. Bukan cuma "omdo"- cuma omong doang.

Dalam pepatah Jawa sering dikatakan, "ojo mung waton ngomong, ning yen ngomong sing maton" - jangan asal bicara untuk membuat orang senang dan terkagum kagum, tetapi bicaralah yang mendasar, sangat kuat pijakannya. Apalagi, apa yang dikatakan benar adanya, dibuktikan di kemudian hari, jika memberi harapan.

Disadari mengedepankan kepentingan umum tak semudah membalik telapak tangan, banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adanya kepentingan pribadi, relasi, bisnis dan kepentingan politik.

Itulah sebabnya, untuk mengedepankan kepentingan umum, kepentingan yang lebih besar lagi dibutuhkan pengorbanan.

Bagi pejabat publik, pengorbanan ini sebuah keniscayaan jika merujuk kepada sumpah dan jabatannya ketika dilantik sebagai pejabat negara.

Baca Juga: Kopi Pagi: Bangga Produk Indonesia

Begitu dilantik sebagai pejabat negara, dia bukan lagi hanya milik keluarganya, dan partai politiknya atau komunitasnya, tetapi sudah milik masyarakat. Bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan keluarganya dan parpolnya atau koleganya.

Masih dalam rangkaian peringatan Hari Raya Idul Adha atau sering disebut hari raya kurban inilah, hendaknya menjadi momentum untuk lebih meningkatkan pengorbanannya semata demi kepentingan rakyat.

Pengorbanan dimaksud adalah pengabdiannya untuk memajukan bangsa dan negara, dengan berbagai cara mengupayakan terwujudnya kesejahteraan rakyat secara merata serta keadilan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.

Untuk menuju ke sana, kian dituntut sikap rela berkorban memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Rela berkorban menanggalkan ego pribadi untuk kepentingan umum, rela berkorban untuk memberi nilai tambah bagi lingkungan sekitar. Rela pula berkorban atas kepentingannya demi mengungkap kejujuran.

Tak kalah pentingnya lebih mengedepankan sikap rela berkorban untuk menyamakan persepsi. Selalu berpikir positif (husnudzon), bukan berpikir negatif ( zuhudzon) untuk menjaga keharmonisan dan keserasian dalam berbangsa dan bernegara seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom "Kopi Pagi" di media ini.

Rela berkorban bukan hal yang baru karena sudah menjadi jati diri bangsa sebagaimana tercermin dalam nilai - nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila.

Yang diperlukan sekarang bagaimana pengamalannya melalui keteladanan para pejabat di semua tingkatan, tanpa terkecuali.

Baca Juga: Kopi Pagi: Kebangkitan Moral Bagian I

Keteladanan rela berkorban dilakukan tanpa pamrih, bukan berharap imbalan, bukan juga pamer kehebatan. Perilaku baik ini ditunjukkan secara ikhlas tanpa berharap sanjungan dan pengakuan.

Keteladanan ini dilakukan terus menerus tiada henti dalam situasi seperti apa pun, kondisi apa pun dan bagaimana pun. Sikap semacam ini sering disebut "ajeg" atau istiqomah.

Kita berharap keteladanan yang sudah melekat dalam diri akan tertularkan ke lingkungan keluarga, masyarakat. Lebih luas lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

dalam lingkup kecil, perlu keteladanan dari para orangtua kepada putra - putrinya, generasi penerus era kini, disebut kaum milenial dan digital.

Mengapa keteladanan? Karena generasi milenial lebih berharap model, ketimbang kritikan. Lebih membutuhkan keteladanan untuk membangun kesadaran, ketimbang doktrin atau pun paksaan.

Jika demikian halnya, edukasi rela berkorban dalam lingkungan sosial, bukan melalui semboyan atau slogan, tetapi dari perilaku kita sehari hari.

Sebab, rela berkorban, bukan sebatas wacana dan retorika, tetapi berperilaku nyata dengan melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Baca Juga: Kopi Pagi: Kian Dibutuhkan Kejujuran

Rela berkorban menanggalkan ego kekuasaan demi membangun soliditas dan solidaritas sosial guna mengatasi berbagai persoalan yang kian rumit dan berbelit. Tantangan yang semakin beragam dan komplek.

Mari rela berkorban demi kepentingan umum, bukan rela mengorbankan kepentingan umum. (Azisoko)


Berita Terkait


undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Meluruskan Benang Kusut

Kamis 08 Mei 2025, 08:44 WIB

News Update