POSKOTA.CO.ID - Keindahan alam Raja Ampat yang memesona, dengan gugusan pulau karang dan laut biru yang memukau, kini menghadapi ancaman serius.
Aktivitas pertambangan nikel yang masif di kawasan ini mulai menimbulkan kerusakan lingkungan, memicu protes dari para aktivis dan masyarakat setempat.
Empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat menjadi sorotan utama setelah investigasi terbaru mengungkap dampak buruknya terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat adat.
Deforestasi, sedimentasi pesisir, dan pelanggaran izin lingkungan menjadi isu kritis yang mencuat.
Baca Juga: Fakta Mencengangkan Kerusakan Raja Ampat oleh 4 Perusahaan Tambang Nikel
Greenpeace Indonesia melaporkan, lebih dari 500 hektar hutan alami telah dibabat, sementara limbah tambang mengancam terumbu karang, habitat penting bagi biota laut.
Aksi protes pun pecah di Jakarta, menuntut pemerintah bertindak tegas sebelum kerusakan ini semakin tak terkendali.
Aksi Protes dan Temuan Pelanggaran
Pada Selasa 3 Juni 2025, aktivis Greenpeace Indonesia menggelar aksi protes di Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta.
Mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Selamatkan Raja Ampat" di hadapan Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno. Aksi ini menuntut penghentian eksploitasi nikel yang merusak ekosistem dan mengancam kehidupan masyarakat adat Papua.
Menurut investigasi Greenpeace, sejak 2024, aktivitas tambang di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah menyebabkan:
- Deforestasi 500+ hektar hutan alami.
- Sedimentasi pesisir akibat limpasan tanah, berpotensi merusak terumbu karang.
- Pelanggaran izin lingkungan, termasuk operasi di luar kawasan yang ditetapkan.
Baca Juga: Siapa Pemilik PT GAG Nikel dan Kawei Sejahtera Mining? Proyek Tambang yang Mengancam Raja Ampat
Profil Empat Perusahaan Tambang Nikel yang Disorot
Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebut empat perusahaan pemegang izin tambang nikel di Raja Ampat:
PT Gag Nikel
- Kepemilikan: Sepenuhnya oleh PT Antam Tbk (BUMN) setelah akuisisi 2008.
- Izin: Kontrak karya sejak 1998, luas 13.136 hektar di Pulau Gag.
- Catatan: Mulai produksi 2018, tetapi dituding abai pada analisis dampak lingkungan (Amdal).
PT Anugerah Surya Pratama
- Kepemilikan: Anak perusahaan Wanxiang Group (China), beroperasi juga di Morowali.
- Lokasi: Pulau Waigeo dan Manuran.
- Isu: Diduga melakukan perluasan lahan tanpa konsultasi masyarakat adat.
PT Mulia Raymond Perkasa
- Operasi: Eksplorasi di Pulau Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan PPKH.
- Status: Dihentikan KLH, tetapi jejak kerusakan belum dipulihkan.
PT Kawei Sejahtera Mining
- Pelanggaran: Tambang ilegal seluas 5 hektar di Pulau Kawe, menyebabkan sedimentasi.
- Sanksi: Dikenai denda administratif, terancam gugatan perdata.
Respons Pemerintah dan Tuntutan Aktivis
KLH mengakui adanya pelanggaran dan mengklaim telah menjatuhkan sanksi. Namun, Greenpeace menilai pemerintah lamban menindak perusahaan yang beroperasi tanpa AMDAL.
"Raja Ampat adalah jantung keanekaragaman hayati. Eksploitasi nikel harus dihentikan sebelum kerusakan tak terpulihkan terjadi," tegas Arie Rompas, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Masyarakat adat Papua melaporkan penurunan hasil tangkapan ikan akibat sedimentasi. "Karang tempat ikan bertelur kini tertutup lumpur," ungkap Maria Wenda, warga lokal yang ikut dalam aksi.
Analisis Ahli: Dr. Siti Nurbaya (Ahli Ekologi Kelautan) memperingatkan, sedimentasi dapat memicu kematian massal terumbu karang dalam 5 tahun jika tidak dikendalikan.
Apa Selanjutnya? Aktivis mendesak:
- Audit lingkungan menyeluruh oleh KLH.
- Pencabutan izin perusahaan yang melanggar.
- Percepatan perlindungan hukum untuk kawasan adat.
Baca Juga: PT Gag Nikel Klaim Penambangan di Raja Ampat Ramah Lingkungan, Ini Katanya
Sementara itu, Kementerian ESDM menyatakan akan mengevaluasi izin tambang di Papua Barat, tetapi belum memberikan timeline jelas.
Raja Ampat menyumbang 75 persen spesies karang dunia. Jika eksploitasi terus berlanjut, bukan hanya alam yang rusak, tetapi juga masa hidup masyarakat dan warisan biodiversitas Indonesia.
Nasib keindahan alam Raja Ampat kini tergantung pada langkah tegas pemerintah dan kesadaran semua pihak. Jika eksploitasi tambang terus dibiarkan, bukan hanya ekosistem yang akan hancur, tetapi juga mata pencaharian masyarakat adat dan warisan alam Indonesia yang tak ternilai.
Pertanyaan besarnya: akankah kita membiarkan surga biodiversitas ini dikorbankan untuk keuntungan segelintir pihak? Atau kita bersatu menyelamatkannya untuk generasi mendatang? Waktu terus berjalan, dan setiap detik penundaan berarti kerusakan yang semakin sulit dipulihkan.