"Dengan mengembangkan sikap saling berbagi akan mendorong rasa persaudaraan dan solidaritas sosial yang tinggi sehingga segala tantangan dan kesulitan yang dihadapi akan semakin ringan," kata Harmoko.
Ada pepatah mengatakan akan lebih baik seandainya tangan bisa selalu di atas, bukan selamanya berada di bawah. Maknanya sedapat mungkin bisa senantiasa memiliki kemampuan untuk memberi bantuan kepada orang lain, bukan secara terus menerus menerima bantuan orang lain. Tentu, memberi bukan dengan kesombongan, begitu pun menerima bukan karena keterpaksaan.
Memberi dan menerima merupakan sepasang kata yang indah, seindah jika sikap dan perilaku kita mencerminkan untuk senantiasa saling memberi dan menerima dalam kehidupan sehari-hari.
Agama apa pun mengajarkan , idealnya, memberi karena niat baik membantu seseorang yang memang sedang membutuhkan, sehingga yang menerima pun akan bersenang hati, ikhlas menerimanya.
Baca Juga: Kopi Pagi: Bangga Produk Indonesia
Para leluhur kita telah mengajarkan, bahkan menerapkan "saling berbagi"; dalam kehidupan sehari-hari, antar-tetangga, antar-kelompok, dan lebih luas lagi dalam berbangsa dan bernegara, yang kemudian dilegalkan dalam falsafah hidup bangsa, yakni Pancasila.
Memberi sejatinya merupakan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Itulah sebabnya dalam butir-butir dasar negara kita, mengajarkan perlunya mengembangkan sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain dengan harapan orang yang ditolong tersebut dapat berdiri sendiri, setidaknya untuk sementara terkurangi beban dan masalahnya.
Mulai esok hari dan beberapa hari ke depan, kita menyaksikan bagaimana sikap saling berbagi teraplikasikan dalam pembagian hewan kurban. Begitu pun proses pemotongan hingga pembagian yang dilakukan secara gotong royong tanpa membedakan latar belakang pendidikan, status sosial dan ekonominya.
Baca Juga: Kopi Pagi: Kebangkitan Moral Bagian I
Semuanya kerja keras tanpa pamrih, tanpa berharap jasa dan imbalan. Semua kerja bareng penuh keramah tamahan dan keikhlasan demi lancarnya pembagian daging kurban kepada mereka yang berhak. Mereka yang layak menerima pemberian dan pembagian daging kurban.
Inilah budaya bangsa kita yang sudah ada sejak dulu kala. Budaya ini tumbuh dan berkembang karena adanya kebersamaan, adanya kepentingan dan tujuan yang sama. Tentu saja, budaya ini hendaknya tidak hanya sesekali atau muncul setahun sekali, tetapi setiap kali, setiap saat, di mana saja dan kapan saja.
Lebih-lebih di era sekarang ini, saling berbagi kian dibutuhkan, di tengah gelora membangun bangsa dan menyejahterakan rakyatnya secara merata.
Di tengah berbagai upaya mewujudkan swasembada pangan, sekolah gratis hingga ke desa-desa.
Baca Juga: Kopi Pagi: Kian Dibutuhkan Kejujuran
Di sisi lain, tantangan kian beragam dan bertambah kompleks di tengah situasi dunia yang sedang tidak baik- baik saja. Bukan saja di bidang ekonomi, geopolitik, juga kesehatan masyarakat, menyusul kembali mewabahnya Covid-19 yang terdeteksi di sejumlah negara tetangga.
Sejarah membutikan Indonesia berhasil menangani kasus Covid tidak lepas dari peran serta masyarakat di semua lini. Terlihat jelas, budaya tolong menolong, saling berbagi kian teraplikasi dalam kehidupan sehari- hari mulai dari lingkup terkecil, RT/RW. Mulai dari upaya pencegahan, penangan kasus, hingga pemulihan korban. Budaya inilah yang mampu menyekat penyebaran kasus serta mempercepat recovery. Kita tentu berharap budaya saling berbagi tetap tumbuh dan berkembang, meski Hari Raya Kurban telah lewat, Covid telah berlalu.
Mungkinkah itu dapat terapliaksi? Jawabnya kita harus optimis bahwa budaya itu dapat terlaksana dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita pun meyakini budaya saling memberi telah terpatri dalam jati diri bangsa kita sebagai identitas nasional.
Yang diperlukan adalah keteladan, lebih-lebih para pejabat negeri baik di tingkat pusat maupun daerah. Sebab, di negara manapun keteladanan pemimpin adalah penting untuk memberi motivasi dan bukti. Tentu keteladanan tanpa pamrih, tanpa berharap pujian dan sanjungan. Semuanya dilakukan demi kepentingan rakyat, semata pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Pepatah Jawa menyebutkankan "sepi ing pamrih, ramai ing gawe".
Baca Juga: Kopi Pagi: Meluruskan Benang Kusut
Keteladanan sikap saling berbagi hendaknya dilakukan oleh kita semua sebagai pemimpin keluarga. Apa pun statusnya, siapa pun dia, diri kita ini sebenarnya sebagai pemimpin, setidaknya memimpin diri sendiri untuk memberi keteladanan mau mengembangkan sikap saling berbagi.
Dengan mengembangkan sikap saling berbagi akan mendorong rasa persaudaraan dan solidaritas sosial yang tinggi sehingga segala tantangan dan kesulitan yang dihadapi akan semakin ringan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom "Kopi Pagi" di media ini.
Bukankah meringankan derita orang lain lebih baik ketimbang menambah penderitaan yang efeknya tentu akan menimpa lingkungan kita juga. Sekecil apa pun pemberian tentu akan bermanfaat, sepanjang tepat sasaran, tidak salah alamat. Jangan sampai memberi bantuan kepada orang yang kesulitan, tetapi bantuan jatuh kepada mereka yang berkecukupan.
Kita tentu tidak ingin “menambak gunung, menggarami lautan". (Azisoko)