Spanduk ini bukan hanya sekadar gambar atau lelucon. Ia memuat lapisan kritik sosial yang halus namun kuat, terutama dari komunitas suporter yang merasa kehilangan figur pemimpin yang dahulu aktif mendukung aktivitas masyarakat.
Sebagai informasi, Ridwan Kamil selama masa jabatannya dikenal dekat dengan komunitas kreatif, anak muda, dan kegiatan olahraga, termasuk Persib Bandung. Oleh karena itu, absennya kehadiran beliau dalam perayaan monumental ini menjadi catatan tersendiri bagi sebagian pendukung.
Melalui simbol spanduk, Bobotoh mengutarakan kerinduannya atau mungkin rasa kecewa terhadap sosok yang pernah menjadi simbol kota. Bahasa Sunda yang digunakan memperkuat konteks lokal dan menggarisbawahi identitas kolektif masyarakat Bandung.
Reaksi Netizen di Media Sosial
Unggahan akun @folkshitt dibanjiri komentar netizen yang mayoritas terhibur sekaligus penasaran. Banyak yang meminta terjemahan tulisan pada spanduk, sementara sebagian lainnya langsung menangkap nuansa sindiran yang terkandung.
Berikut beberapa komentar yang mencerminkan ragam respons publik:
“Translet dong?” @badai25_
“Kang gak konvoi? Sibuk sama yang gendut atau gemuk?” @salsabilaslha
“Kang gak ikut konvoi? RK: Sibuk sama yang gemoy” @arienovianto
Komentar-komentar tersebut menunjukkan betapa cepatnya warganet merespons isu lokal dan mengolahnya menjadi humor yang tetap mengandung kritik.
Peran Meme dan Spanduk dalam Budaya Suporter
Dalam dunia sepak bola, khususnya di Indonesia, ekspresi visual seperti spanduk, koreografi tribun, dan meme digital sering digunakan sebagai sarana komunikasi antar suporter, bahkan kepada tokoh-tokoh publik.
Kasus spanduk Ridwan Kamil ini mencerminkan bagaimana ruang publik dalam perayaan olahraga bisa menjadi ajang partisipasi politik dan budaya, tanpa harus frontal atau kasar. Humor menjadi senjata utama, sedangkan visual menjadi medium komunikasi lintas batas sosial.
Baca Juga: Segera Tukarkan! 10 Kode Redeem FF Terbaru Gratis Hari Ini 26 Mei 2025 Hadirkan Skin Langka