“FEB UGM menyampaikan dukacita yang mendalam atas meninggalnya Argo Ericko Achfandi mahasiswa FH UGM dalam insiden kecelakaan.”
Namun, pernyataan ini justru memicu gelombang kritik dari netizen. Banyak pengguna media sosial menyoroti ketiadaan penyebutan nama Christiano dalam pernyataan resmi tersebut, bahkan mempertanyakan hubungan FEB UGM dengan korban.
Komentar-komentar tajam seperti:
- “Lucu kalian tidak sebut nama dia sama sekali. Atau kalian lebih takut dengan ayahnya direktur F** itu?”
- “Yang nabrak korban anak IUP FEB UGM,”
menjadi representasi keresahan publik terhadap potensi adanya bias atau pengaruh dari latar belakang sosial pelaku dalam proses penegakan hukum dan etika akademik.
Isu Keadilan dan Privilege Sosial dalam Sorotan Publik
Kasus ini membuka kembali diskursus publik mengenai ketimpangan sosial dan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Isu mengenai anak pejabat atau tokoh berpengaruh yang terlibat kasus hukum namun kerap “lolos” dari jerat pidana menjadi kekhawatiran tersendiri.
Dalam konteks ini, netizen menilai bahwa latar belakang Christiano yang berasal dari keluarga berada, serta posisinya sebagai mahasiswa program internasional di universitas ternama, bisa saja mempengaruhi objektivitas penyelidikan jika tidak diawasi secara transparan.
Tuntutan Transparansi dan Keadilan dari Masyarakat
Tekanan dari masyarakat tidak hanya tertuju pada pihak keluarga pelaku, tetapi juga institusi akademik dan aparat penegak hukum. Masyarakat menuntut agar:
- Pihak kepolisian melakukan penyelidikan secara transparan dan adil.
- UGM sebagai institusi pendidikan memberikan klarifikasi lebih lanjut, serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan keadilan.
- Media massa turut mengawal perkembangan kasus ini secara netral dan informatif.
Sorotan tajam ini mencerminkan meningkatnya kesadaran publik terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kasus hukum, terutama yang menyangkut ketimpangan kelas sosial.
Baca Juga: Pemkot Bekasi Tunda Pembongkaran Bangunan Liar di Sekitar Unisma, Ada Apa?
Etika Media Sosial dan Risiko Doxing
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana cepatnya informasi menyebar melalui media sosial, termasuk identifikasi pribadi seseorang sebelum adanya konfirmasi resmi dari aparat hukum.
Fenomena ini dikenal sebagai doxing, yakni menyebarkan informasi pribadi seseorang secara publik dengan maksud memberi tekanan sosial.
Meskipun niatnya untuk menuntut keadilan, tindakan ini tetap memiliki risiko pelanggaran privasi, apalagi jika informasi yang disebarkan belum diverifikasi kebenarannya. Masyarakat diimbau untuk bersikap bijak dalam bermedia sosial, tidak terjebak pada amarah sesaat, serta tetap menghormati proses hukum yang berlaku.