POSKOTA.CO.ID - Pindar (pinjaman daring) menjadi salah satu solusi cepat bagi masyarakat yang membutuhkan dana mendesak.
Namun, di balik kemudahan tersebut, banyak kasus yang menyoroti praktik-praktik penagihan yang meresahkan, bahkan mengarah pada teror bagi para peminjam.
Artikel ini akan membahas target pasar pindar di Indonesia, dampaknya pada masyarakat, dan mengungkap fakta-fakta yang perlu diwaspadai.
Baca Juga: Pindar yang Legal Diawasi OJK Tidak Gunakan Debt Collector untuk Penagihan, Benarkah?
Pindar dan Teror
Beberapa waktu lalu, artis Nana Mirdad mengungkapkan pengalamannya saat diteror oleh debt collector (DC) dari layanan pindar, meski tagihan yang dia miliki baru jatuh tempo pada tanggal 1.
Nana mengaku, sejak pagi hingga malam hari, ia terus menerima ancaman dari pihak penagih, meskipun tagihan tersebut belum terlambat.
Setelah membayar tagihan, Nana masih dikenakan denda sebesar Rp50.000 untuk keterlambatan sehari, meskipun pembayaran dilakukan tepat pada hari jatuh tempo.
Baca Juga: Mau Dana Pindar Cepat Cair? Coba 6 Trik Ini Agar Pinjaman Langsung di ACC
Menurut Nana, penagihan yang dilakukan oleh pindar tersebut sangat tidak profesional dan berpotensi merusak catatan kreditnya.
Hal ini membuka mata banyak orang bahwa meskipun pindar terlihat legal, metode penagihannya bisa sangat mengganggu dan merugikan peminjam.
Dikutip dari YouTube Desi Sutriani pada Selasa, 13 Mei 2025, di balik kemudahan akses pindar, ada perubahan signifikan dalam strategi pemasaran pindar.
Berdasarkan pengamatan, sejak beberapa tahun terakhir, target pemasaran pindar mulai mengarah pada ibu rumah tangga.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya persentase penggunaan pindar di kalangan perempuan, meski gap antara laki-laki dan perempuan relatif tipis.
Mengapa ibu rumah tangga menjadi sasaran utama? Beberapa ibu rumah tangga terpaksa beralih ke pindar untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti biaya pengobatan atau kebutuhan anak.
Dalam banyak kasus, mereka sering kali tidak memahami risiko yang akan ditanggung, sehingga dengan mudah terjebak dalam utang yang semakin menumpuk.
Fenomena pindar tidak hanya menguntungkan penyedia layanan, tetapi juga memberikan kontribusi besar bagi negara. Berdasarkan data terbaru, penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital, termasuk pindar, diperkirakan mencapai Rp34,91 triliun hingga Maret 2025.
Pemasukan ini berasal dari berbagai transaksi, termasuk pajak perdagangan elektronik, kripto, dan pindar.
Namun, menurut Desi, meskipun ada pemasukan signifikan, masalah penagihan pindar masih belum mendapat perhatian serius dari pihak berwenang.
Solusi dan Peran Masyarakat
Pakar hukum menilai bahwa selama ini negara terkesan absen dalam menangani kasus pindar. Negara lebih fokus pada akumulasi pendapatan dari sektor ini, sementara masyarakat terus-menerus terjebak dalam siklus utang yang tidak kunjung selesai.
Berbagai upaya seperti melunasi pinjaman dengan menjual harta benda atau mengajukan permohonan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga tidak membuahkan hasil yang memadai.
Di sisi lain, pakar menegaskan bahwa pemutusan hubungan dengan pindar sejatinya dimulai dari kesadaran diri sendiri. Masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah, harus mulai berhati-hati dan tidak tergoda untuk terus-menerus bergantung pada pindar.
Penggunaan data pribadi yang tidak sah atau peminjaman tanpa persetujuan sering kali menjadi pintu masuk bagi pindar ilegal untuk menyebar lebih luas.
Waspadai Dampak Pindar pada Keuangan Pribadi
Dengan semakin banyaknya kasus yang muncul terkait pindar, masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memilih solusi keuangan. Jika pinjaman online sudah mengganggu catatan kredit atau menyebabkan tekanan mental, sebaiknya segera berhenti dan mencari alternatif lain.
Menurut pakar, uang yang beredar dalam sistem pindar berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, jika tidak ada yang berani menghentikan penggunaan pindar, siklus ini akan terus berlanjut.