POSKOTA.CO.ID - Media sosial telah menjadi panggung utama bagi banyak selebritas dan konten kreator untuk mengekspresikan diri.
Namun, ketenaran yang diperoleh lewat konten viral tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas atau etika yang menyertainya.
Fenomena inilah yang kembali muncul dalam kasus selebgram Oklin Fia, yang kali ini menggandeng adiknya, Anggi, dalam video TikTok yang menuai kontroversi pada pertengahan April 2025.
Baca Juga: Apakah Tanggal 12 Mei 2025 Libur Long Weekend? Cek Daftar Libur Panjang Bulan Ini
Latar Belakang Kasus Oklin Fia
Oklin Fia bukan nama asing dalam lanskap media sosial Indonesia. Namanya melejit pada 2023 lalu setelah video dirinya menjilat es krim dengan gaya yang dianggap sensual tersebar luas.
Saat itu, publik mengecam keras konten tersebut karena dianggap melecehkan simbol-simbol kesopanan dan keagamaan.
Merespons kritik, Oklin sempat menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Ia mengaku menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi hal serupa.
Namun, dua tahun berselang, Oklin kembali menjadi bahan perbincangan karena video baru bersama sang adik, Anggi, yang dianggap tidak pantas dan mencederai nilai-nilai muslimah.
Isi Konten yang Viral dan Menuai Kritik
Video terbaru yang diunggah melalui akun TikTok @oklinfia.official pada 15 April 2025 memperlihatkan Oklin dan Anggi mengikuti tren tari yang dipopulerkan oleh influencer Malaysia, Aisar Khaled.
Namun yang membuat konten ini menuai reaksi negatif adalah karena keduanya mengenakan pakaian yang menonjolkan celana dalam bermerk Calvin Klein secara eksplisit.
Meski hanya berdurasi beberapa detik, video tersebut sudah ditonton lebih dari 440 ribu kali hingga 10 Mei 2025 dan masih dapat ditemukan di akun TikTok Oklin.
Keberadaan konten tersebut memicu kecaman dari berbagai kalangan, termasuk sesama kreator konten dan netizen berhijab yang merasa tersinggung.
Reaksi Publik dan Kreator Konten Lain
Salah satu konten kreator yang paling vokal terhadap video ini adalah akun TikTok @Sundani__. Dalam sebuah video berjudul surat terbuka untuk Oklin dan Anggi, ia menyatakan keprihatinannya terhadap sikap keduanya yang dinilai tidak belajar dari kesalahan masa lalu.
“Saya cukup miris dengan Oklin dan adiknya ini karena mereka tidak pernah belajar dari kesalahan,” ujarnya.
Dalam video tersebut, Sundani juga menyebut bahwa tindakan mereka sering kali mencederai identitas sebagai muslimah. Ia pun menutup video dengan harapan agar Oklin dan Anggi dapat merefleksikan ulang nilai-nilai yang mereka bawa ke ruang publik.
Respons Netizen: Antara Kritik dan Kekhawatiran
Respons dari masyarakat tidak kalah keras. Banyak netizen perempuan berhijab menyuarakan keberatannya melalui kolom komentar dan video reaksi.
Beberapa menyampaikan bahwa konten tersebut telah menimbulkan rasa malu dan membuat citra perempuan berhijab menjadi tercoreng.
“Akhirnya ada yang speak up, terima kasih kak sudah mewakili saya sebagai wanita berhijab,” tulis akun @harupie042.
"Jujur, setiap video mereka lewat, saya pengen banget komentar soal pakaian mereka, tapi takut diserang,” tulis pengguna lain.
Bahkan beberapa pengguna menyayangkan perubahan perilaku Anggi yang sebelumnya dikenal sopan namun berubah setelah sering tampil bersama Oklin.
Baca Juga: Debt Collector Rampas Mobil Pajero, Polisi Amankan Lima Pelaku di Bekasi
Etika Berkonten: Ketika Popularitas Bertentangan dengan Nilai
Fenomena ini membuka diskursus penting mengenai etika dalam berkreasi di media sosial. Banyak pihak mempertanyakan mengapa seorang figur publik dengan basis pengikut besar tidak mempertimbangkan dampak sosial dari konten yang mereka produksi.
Isu ini menjadi lebih kompleks ketika menyangkut identitas keagamaan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, ekspektasi terhadap perempuan berhijab untuk menjaga kesopanan sangat tinggi.
Maka ketika selebgram berhijab tampil dalam konten dengan pakaian minim atau pose sugestif, reaksi keras pun tak terelakkan.
Belum Ada Klarifikasi dari Oklin dan Anggi
Hingga saat ini, baik Oklin maupun Anggi belum memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi terkait kritikan yang mereka terima. Ketidakhadiran mereka dalam diskursus publik mengenai konten viral ini justru menambah keresahan banyak pihak yang berharap adanya refleksi dan perubahan nyata.
Tak bisa dipungkiri, banyak konten kreator di era sekarang yang sengaja menciptakan kontroversi untuk mendulang impresi tinggi.
Pola ini juga memunculkan pertanyaan apakah Oklin Fia secara sadar menggunakan strategi ini, ataukah ia belum menyadari risiko reputasi jangka panjang yang tengah ia bangun?
Kritik terhadap konten viral seperti ini bukan sekadar soal moralitas, tapi juga soal tanggung jawab sosial dari figur publik yang memiliki pengaruh besar, terutama terhadap remaja dan anak muda.
Kasus Oklin Fia dan adiknya, Anggi, merupakan potret nyata tantangan etika konten di era digital. Dalam masyarakat yang semakin terbuka, tanggung jawab konten kreator menjadi lebih besar.
Kesalahan adalah hal wajar, namun mengulanginya tanpa refleksi hanya akan memperburuk citra pribadi dan mencederai komunitas yang lebih luas.
Jika Oklin dan Anggi benar-benar ingin tetap eksis sebagai konten kreator yang dihargai, maka jalan terbaik adalah dengan merespons kritik secara bijak dan belajar dari masa lalu. Hanya dengan demikian, integritas sebagai figur publik dapat dipulihkan.