“..segala persoalan sejatinya bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan. Duduk semeja bicara dari hati ke hati merumuskan solusi, ketimbang komen dari layar yang berpotensi menimbulkan distorsi. Mari satukan langkah membangun bangsa melalui aksi nyata..”
-Harmoko-
Halal bihalal menjadi agenda rutin yang digelar masyarakat di bulan Syawal, usai Hari Raya Idul Fitri. Halal bihalal, menjadi tradisi yang terus berkembang hingga saat ini, kadang menjadi ajang "open house", yang dilakukan sebuah rumah, instansi, atau institusi mengundang warga masyarakat untuk datang bersilaturahmi.
Halal bihalal juga digelar oleh paguyuban, kelompok reuni, organisasi sosial dan partai politik untuk berkomunikasi secara langsung bagi para anggotanya melalui tatap muka, bersalaman untuk saling memaafkan itulah esensi dari halal bihalal.
Dalam perkembangannya, makna halal bihalal memiliki cakupan yang lebih luas, tak sebatas bertemu muka, bersalaman dan saling memaafkan. Tetapi berbuat baik secara berkelanjutan kepada orang yang telah melakukan kesalahan. Menyambung hubungan yang putus akibat sebuah konflik dengan menghapus kesalahan masa lalu guna membangun semangat baru mewujudkan keharmonisan.
Cukup beralasan sekiranya ada yang memaknai halal bihalal sebagai sarana menyelesaikan problem, kesulitan, hambatan dan tantangan. Mengurai atau meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, melepaskan ikatan yang membelenggu baik dalam kehidupan antarindividu, kehidupan sosial dan politik, pemerintahan dan ketatanegaraan.
Merujuk ke belakang, halal bihalal memiliki sejarah sendiri di negeri kita, mengingat tradisi ini tidak ditemukan di negara-negara lain. Sejumlah sumber menyebutkan halal bihalal sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (1757).
Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Acara sungkeman, saling memaafkan antara raja dengan rakyatnya.
Sumber lain menyebutkan, pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang dikemas dengan nama halal bihalal.
Kita tahu, saat itu antar-pemimpin politik masih memiliki konflik. Melalui halal bihalal itulah, para tokoh politik duduk satu meja bukan membicarakan konflik, tetapi merapatkan barisan, menyusun kekuatan dan persatuan demi masa depan bangsa.
Konflik politik luluh dengan sendirinya, benang kusut yang membelit karena konflik politik terurai karena tadi, halal bihalal. Melalui halal bihalal, ego pribadi dan kelompok serta kepentingan politik tersingkirkan, yang mencuat adalah kepentingan bersama membangun bangsa.