Demokrasi tanpa hukum bisa menjadi liar dan dimungkinkan menimbulkan anarki. Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi menjadi zalim dan cenderung sewenang-wenang - Harmoko
Indonesia sebagai negara demokrasi merupakan sebuah pernyataan ideologis dan faktual yang tidak dapat lagi ditolak. Sejak negeri ini berdiri, Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka berdasarkan demokrasi Pancasila.
Rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Rakyat diberi hak yang sama dan setara dalam pengambilan keputusan. Itulah rumusan demokrasi sesungguhnya yang semestinya dijalankan dalam sistem pemerintahan di negara yang menganut demokrasi.
Pemilu langsung dalam pilpres, gubernur, bupati, walikota dan kepala desa merupakan wujud negara demokrasi, meski masih adanya sejumlah catatan dalam pelaksanaannya. Catatan perbaikan itulah yang hendaknya dijalankan, jika hendak memajukan demokrasi di negeri ini.
Menengok masa lalu, wajah demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, politik, ideologi sesaat atau temporer.
Pada awal berdirinya Republik ini, demokrasi tidak dapat dijalankan secara baik karena dibayang-bayangi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Kita ingat, revolusi fisik masih terjadi hingga tahun 1950, juga masih dominannya sentralisasi kekuasaan.
Kini, demokrasi kian maju dan berkembang menuju standar yang diharapkan. Tetapi tak dapat dipungkiri, kendala masih saja terjadi yang mengaburkan makna demokrasi itu sendiri.
Beda persepsi dan aspirasi adalah keniscayaan, beda pandangan tidak diharamkan, tetapi pengkotak-kotakan adanya gap politik yang kian mengkristal berdampak buruk melahirkan perpecahan. Meski pernyataan tak ada lagi 01 dan 02, yang ada hanyalah persatuan Indonesia, sudah digulirkan selesai pilpres tahun 2019, tetapi dampaknya masih tersisa di akar rumput yang berisikan kadrun dan cebong.
Ditambah lagi, terbentuknya kubu pro dan kontra dalam menyikapi kebijakan pemerintah, kian dirasakan. Begitupun dalam merespons aspirasi baik yang disampaikan melalui diskusi maupun maraknya demonstrasi seperti yang terjadi belakangan ini.
Padahal fakta menghendaki demokrasi kekiniaan yang dibutuhkan, jika mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga memiliki kemampuan menjawab setiap tantangan dan masalah-masalah kebangsaan hari ini.
Itulah sebabnya semua pihak perlu menyudahi komentar yang dapat memperlebar gap, komentar yang makin membelah dua kubu. Rekonsiliasi menjadi kata kunci, jika tidak ingin terbawa kepada arus perpecahan. Rekonsiliasi tak sebatas kata, tetapi fakta, di mana para elite dan pemimpin negeri wajib membangun komunikasi politik yang sehat dengan memberi ruang kepada siapapun ikut serta dalam partisipasi kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Rekonsiliasi yang mengutamakan kepentingan rakyat dan persatuan bangsa, bukannya berbagi pundi-pundi kekayaan untuk membiayai partai ataupun kelompok demi melanggengkan kekuasaan.
Di sinilah para elite wajib taat asas, patuh dan konsisten kepada prinsip-prinsip konstitusi negara seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Tidak “mencla-mencle” terhadap ketentuan yang sudah diputuskan seperti masa jabatan presiden, pelaksanaan pemilu dan tahapan ketatanegaraan lainnya. Kepatuhan hukum wajib dilaksanakan dalam negara demokrasi. Sebab, demokrasi tanpa hukum bisa menjadi liar dan dimungkinkan menimbulkan anarki.
Supremasi hukum memang menghendaki ketegasan penindakan, tetapi bukan lantas menjadi tak terkendali karena adanya intervensi kekuasaan dan kewenangannya. Perlu filter yang disebut demokrasi. Sebab, hukum tanpa demokrasi menjadi zalim dan cenderung sewenang-wenang.
Di sinilah perlu pemimpin, elite politik yang mampu membangun rekonsiliasi, bukan sebatas koalisi. Pemimpin yang mempunyai hati nurani dan taat asas, bukan hanya menyangkut kepatuhan dan ketaatan seseorang terhadap sebuah ketentuan. Perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, perbuatan, serta pikiran dan perasaannya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari taat asas.
Jauhkan prasangka buruk, perasaan was- was, sumelang, khawatir berlebihan karena berbagai persoalan.
Pepatah mengatakan, “Sapa sing tatag lan teteg, bakal tutug” yang artinya barang siapa yang teguh pendirian, tidak goyah, dan kuat dalam pendirian serta tidak mudah terbelokkan oleh rayuan dan godaan, dia akan mencapai apa yang diidamkan.
Jika tidak? Boleh jadi goncangan makin liar dan besar. (Azisoko*)