Perang Hegemoni

Sabtu 05 Mar 2022, 07:30 WIB

Karl Marx dengan pandangan materialisme terhadap sejarah (materialisme historis)
mempelopori paradigma kritis mengkritisi kapitalisme. Dalam pandangan Marx, kaum kapitalis mengambil nilai lebih yang dihasilkan oleh kaum buruh sehingga
menciptakan kemiskinan yang akut yang diderita oleh kaum buruh, buruh teralienasi
dari aktivitas kerjanya.

Dalam analisis Marx, kapitalisme akan tumbang melalui perjuangan kelas
kaum buruh melawan antipodenya sendiri yaitu kaum kapitalis. Di atas reruntuhan
masyarakat kapitalisme tersebut akan tumbuh masyarakat baru yaitu suatu
masyarakat tanpa eksploitasi antar manusia.

Teori Marx ini dipatahkan oleh Bung Karno. Kontradiksi yang terjadi di negara-negara terjajah, bukan seperti tesis Marx yaitu pertentangan antara kapitalis dan proletar, melainkan pertentangan antara bangsa terjajah dan bangsa yang dijajah. Marx tidak hidup di alam kapitalisme yang sedang meninggi dalam wajah baru yaitu jaman imperialisme. Bung Karno melalui pledoi Indonesia Menggugat (1930) menganalisis dengan sangat tajam tentang imperialisme dengan meminjam teori dari Pieter Jelles Troelstra, H.N. Brailsford dan Otto Bauer. Dalam jaman ini, menurut Bung Karno, negara-negara imperialis dan kapitalis global saling berkompetisi satu sama lain dengan membagi dan memperebutkan dunia jajahannya. Pada jaman ini pula, negara-negara imperialis dapat mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain (kolonialisme). Dalam bahasa Bung Karno, kolonialisme dan imperialisme merupakan anak kandung dari kapitalisme Barat.

Pada saat itu, dunia dihadapkan pada perang hegemonik, yang bertujuan
mencari sumber daya alam dalam bentuk bahan mentah untuk kepentingan industri
negara maju, ataupun mencari perluasan pasar bagi kepentingan industrinya.
Perdagangan internasional pun berkembang, yang didukung oleh dukungan militer
bagi memastikan keamanan dagang dan terjaminnya investasi di negara-negara
baru. Tahap inilah yang mendorong ekspedisi bangsa-bangsa Eropa Barat yang
diikuti dengan penguasaan teritorial dengan segala cara. Akhirnya kapitalisme yang
bersenyawa dengan kebijakan luar negeri suatu negara melahirkan watak geopolitik
yang ekspansionis, dan mencari ruang hidup (lebensraum) sebagai bentuk
hegemoni suatu bangsa yang lebih maju terhadap bangsa lain yang lebih rendah.
Kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme akhirnya menjadi satu kesatuan tata
pergaulan hidup yang mengeksploitasi bangsa lain.

Akibat dari sistem imperialisme ini, menurut Bung Karno telah menimbulkan
“urat-urat dan syaraf-syaraf sistem imperialisme”. Pertama, sistem imperialisme
melahirkan politik devide et impera; Kedua, sistem imperialisme memarjinalkan
rakyat Indonesia; Ketiga, sistem imperialisme melahirkan “superioritas kulit putih”;
Keempat, sistem imperialisme telah mengelabui dan menjinakkan rakyat Indonesia
dengan membangunkan kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat Indonesia,
bahwa kepentingan rakyat sesuai dan sama dengan kepentingan para kapitalis
global. Sehingga rakyat jangan menjalankan politik self-help dan politik ingin
merdeka, tetapi haruslah memeluk politik bersatu dengan kolonialis dan imperialis,
yakni politik asosiasi.

Bung Karno dalam seluruh pemikirannya di atas, menggambarkan kepada
kita untuk melihat perkembangan kapitalisme menuju imperialisme modern. Analisis
Bung Karno tentang imperialisme sangat visioner dan masih sangat relevan sampai hari ini dalam kaitannya dengan konflik geopolitik dunia, khususnya yang saat ini
terjadi di Ukraina dan Rusia. Bung Karno mengajarkan kepada kita bahwa konflik
geopolitik internasional tidak bisa dilepaskan dari konflik perebutan pasar dan
sumber daya, serta perlombaan menampilkan hegemoni kekuatan militer. Begitu
juga dengan pembentukan pasar-bebas, blok-blok perdagangan dan kawasan
perdagangan bebas, serta peran dominan dari Bank Dunia, IMF, WTO yang
merupakan fenomena dari watak imperialisme-modern sebagaimana digambarkan
Bung Karno pada tahun 1930.

Dengan analisis yang tajam dari Bung Karno tersebut, apa yang terjadi antara
Rusia-Ukraina harus ditempatkan dalam perspektif pertarungan hegemoni, yang di
dalamnya melibatkan kepentingan strategis NATO yang berhadapan secara
diametral dengan Rusia. Dalam perspektif Rusia, ekspansi NATO tersebut semakin
menciptakan ketidakseimbangan kekuatan militer di kawasan yang sangat strategis
secara geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi tersebut. Tentu saja, Indonesia
sebagai negara yang mempelopori politik luar negeri bebas-aktif, apa yang dilakukan
Rusia juga bertentangan dengan prinsip bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah
hak segala bangsa.

Namun yang terpenting bagi Indonesia bukanlah pada analisisnya. Dalam
gerak setiap negara, semua negara berlomba untuk memperjuangkan kepentingan
nasionalnya dan sekaligus membangun “daya pengaruhnya” bagi dunia. Dengan
demikian menjadi penting untuk bangsa Indonesia melihat ke dalam, guna
merumuskan apa kepentingan nasional Indonesia di tengah pertarungan hegemoni,
yang tampilannya semakin kompleks tersebut.

Dalam masa kepemimpinan Sukarno, diplomasi luar negeri dan pertahanan
begitu piawai digunakan. Demikian halnya dalam bidang perekonomian dan
diplomasi kebudayaan. Semua dipergunakan bagi daya tawar Indonesia di dalam
mewujudkan kepentingan nasionalnya. Hasilnya, begitu banyak kerjasama strategis
yang dilakukan, termasuk mengirimkan ribuan pemuda ke luar negeri agar bisa
berdiri di atas kaki sendiri.

Itulah jawaban yang bisa diberikan di tengah pertarungan hegemoni,
bagaimana Indonesia membangun seluruh proyeksi national-powernya sehingga
memiliki daya unggul. Daya unggul ini dalam desain awalnya dimulai dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu juga memiliki progresivitas
tinggi untuk melakukan riset dan inovasi dengan meningkatkan seluruh nilai tambah
dalam proses produksi yang berdampak pada peningkatan daya unggul bangsa,
khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Pada saat bersamaan,
Indonesia tidak bisa berdiam diri atas berbagai “gejolak” pertarungan hegemoni
dunia. Indonesia tidak bisa mengatakan “netral”. Sebab netralitas bukanlah garis
kebijakan luar negeri. Indonesia berpihak pada perdamaian dunia, dan seharusnya
mengambil setiap prakarsa bagi tata dunia baru yang lebih demokratis, lebih
berkeadilan, dan bebas dari ancaman perang. Indonesia juga harus tegas
menyuarakan kembali bahwa berbagai persoalan dunia selalu saja disebabkan oleh
pertarungan hegemoni negara-negara besar. Hal ini sangat jelas disuarakan oleh

Bung Karno dalam pidato To Build the World a New pada tahun 1960, dan kini
terbukti kembali kebenarannya.

Dalam berbagai prakarsa kepemimpinan Indonesia bagi dunia tersebut,
setidaknya Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementrian Perdagangan harus diperkuat
semangatnya untuk ikut berjuang menghadirkan pemikiran geopolitik Indonesia yang
digerakkan oleh nilai-nilai kemanusiaan dan internasionalisme. Kepemimpinan
diplomasi memerlukan rasa percaya diri, keyakinan pada nilai-nilai dasar terhadap
kebijakan luar negeri yang oleh Bung Hatta dikatakan ‘mendayung diantara dua
karang’.

News Update