Dengan gaji 1,2 juta per bulan, Sodikin mesti memberikan makan satu anak yang kini menginjak kelas tiga MTS/SMP dan seorang istri, belum lagi untuk bayar listrik dan yang lainnya.
"Ya kalau dibilang sejahtera sih, jauh dari kata sejahtera," jelasnya.
Bahkan, gaji 1,2 juta itu baru ia terima sejak tahun 2020. Dia mengenang gaji saat baru jadi seorang guru honorer.
"Pas awal jadi guru honorer itu Rp50 ribu per bulan, itu tahun 2004," katanya.
Seiring berjalannya waktu, pada 2013 sampai 2017, dia mengaku diberi upah sebesar Rp600 ribu, kemudian tahun 2018 hingga 2020, naik menjadi Rp800 ribu.
"Dari 2020 sampai saat ini baru diberi upah Rp1,2 juta," terangnya.
Kendati demikian, kenaikan gaji tersebut tak cukup memenuhi kebutuhan. Walhasil, Sodikin mencari peluang kerja lain, yakni sebagai tukang ojek online.
"Ya mau gimana lagi? Mencukupi kebutuhan sehari-hari ya dari situ sumbernya (jadi tukang ojek), kalau (gaji) dari sekolah kan dapat sebulan sekali paling habis buat setoran motor atau setoran apa gitu," tuturnya.
Bahkan, sebelum adanya aplikasi ojek online, Sodikin sudah berprofesi sebagai tukang ojek konvensional yang kerap menanti penumpang di pangkalan ojek, perempatan, atau pertigaan jalan.
"Kan dulu belum ada (ojek) online, belum ada Gojek, belum ada Grab, dulu saya ojek konvensional, lah. Nah terus saya gabung jadi ojol (ojek online) itu 2019, baru saya gabung ke Grab," jelasnya.
Dengan gigih, selepas mengajar, Sodikin langsung mengojek. Jam kerjanya sebagai tukang ojek mulai dari pukul 14.00 WIB hingga sekira pukul 19.30 WIB.
"Kalau hari Sabtu atau Minggu bisa lebih malam, karena hari libur kan," tuturnya.
Di sisi lain, dia mengaku jika pendapatan hasil mengojek itu tak tentu.