Bila sedang normal, sekali melaut kapalnya bisa mengangkut 10 ton ikan. Dari 10 ton tersebut bila di rupiahkan sekitar Rp10 juta.
Hasil itu kemudian dibagi bersama 8 teman lainnya setelah dipotong biaya operasional kapal.
Namun, bila ikan yang didapat sedang tipis, sekali melaut, hanya mendapatkan Rp1 juta dari hasil penjualan ikan.
Setelah hasil tersebut dipotong biaya ini dan itu, Bada dan rekannya hanya bisa mengantongi Rp50 ribu.
"Dibagi lagi, ada belanjaan lah Rp300 ribu, sama bosnya, paling saya cuma Rp50 ribu," jelas bapak dua anak tersebut.
Bada pun harus rela mengencangkan ikat pinggang agar bisa berbagi dengan anak istrinya di Kampung.
Bila penghasilan sedang normal, dua Minggu sekali, Bada mudik ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarganya di Cirebon, sekaligus memberi jatah uang belanja.
Namun, sudah hampir satu bulan ini, Bada belum bisa pulang kampung, karena kondisi keuangannya sedang kembang kempis.
Meski begitu, Bada dan 8 teman satu kapal yang berukuran 8 GT, tetap telaten memburu ikan di perairan Teluk Jakarta.
Setiap hari, hampir seluruh nelayan di Muara Angke berangkat melaut dari sore dan kembali bersandar di pagi hari.
Paling jauh, kata Bada, kapalnya berlayar hingga ke wilayah Kepulauan Seribu, untuk mencari ikan.
Menurunnya hasil tangkapan ikan, kata Bada, dipengaruhi oleh cuaca yang tidak bersahabat. Angin kencang dan ombak tinggi menjadi hambatan para nelayan.