SEBANYAK 261 daerah akan mengikuti Pilkada Serentak 9 Desember mendatang. Dari jumlah itu, 53 calon Kepala Daerah ditegur Mendagri, karena menggelar arak-arakan massa menuju KPUD. Sadar nggak mereka, arak-arakan itu bisa jadi penyebar Corona?
Sesuai jadwal KPU, tanggal 4-6 September lalu menjadi hari pendaftaran para jago parpol untuk menuju Pilkada Serentak 9 Desember mendatang. Terdapat 261 daerah yang bakal menggelar hajatan politik itu, yakni 224 untuk kabupaten dan 37 kota. Semuanya tersebar di 9 provinsi.
Dari catatan KPU, sampai pukul 24 tanggal 6 September, peserta paslon berjumlah 687. Mereka ini memperebutkan jabatan untuk walikota dan bupati. Ada yang benar-benar baru, ada pula yang ingin mempertahankan jabatannya untuk 5 tahun mendatang (petahana).
Mereka ini jago-jago terbaik, setidaknya menurut parpol pengusung. Macem-macem latar belakang mereka. Ada yang anak presiden, mantu presiden, anak Wapres dan banyak pula yang putra-putri mantan Kepala Daerah setempat. Inilah berkah pasal larangan politik dinasti dibatalkan oleh MK.
Dalam suasana wabah Corona yang makin menghebat (hari kemarin 200.035 terpapar), sebetulnya Pilkada Serentak di tahun 2020 itu penuh resiko. Dari masa pendaftaran, masa kampanye hingga hari pencoblosan adalah masa paling rawan untuk penyebaran Covid-19. Sebab di situlah massa berkumpul, di situ pula virus Corona ditularkan.
Maka Mendagri minta, di masa kampanye dilarang penggalangan massa. Kampanye hanya boleh dilakukan lewat medsos (virtual). Itu masih rencana. Sedangkan yang sudah terjadi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat pendaftaran para jago ke KPUD, banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan.
Mereka menggelar arak-arakan massa, dan peserta banyak yang tak bermasker, apa lagi jaga jarak, dilanggar total. Karenanya Mendagri Tito Karnavian telah menegur 53 pasangan calon Kepala Daerah. Sadarkah mereka ini bahwa arak-arakan massa sangat rawan. Paling-paling jawaban mereka, “Alah, 5 tahun sekali ini.”
Ujian terakhir adalah di hari pencoblosan nanti. Jika pemilih bersikap “di rumah saja” sesuai anjuran BNPB, maka gagal lah Pilkada 9 Desember itu. Tapi jika Pilkada berjalan lancar, artinya jarang yang golput, tunggu saja klaster corona pasti akan bertambah. Maka idealnya memang, Pilkada ditunggu saja sampai Covid-19 sirna. (gunarso ts)