Turunkan Iuran BPJS Langkah Manusiawi MA

Selasa 10 Mar 2020, 09:20 WIB

KEPUTUSAN Mahkamah Agung (MA), mengabulkan permohonan gugatan komunitas pasien cuci darah dengan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, disambut gembira. Publik mengapresiasi keputusan MA bahkan menganggap lembaga ini sebagai pahlawan di tengah lilitan ekonomi masyarakat.

Mahkamah Agung (MA), Senin (9/3/2020) mengabulkan judicial review Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Sebelum adanya putusan MA, kepercayaan masyarakat sempat luntur baik kepada pemerintah, lembaga tinggi negara maupun wakil rakyat di DPR. Pesimistis, itulah yang dirasakan rakyat ketika perjuangan ke sana kemari meneriakkan protes, tapi tak digubris.

MA sebagai lembaga tinggi negara, ternyata lebih punya hati memikirkan penderitaan rakyat, manusiawi dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Publik juga mengapresiasi perjuangan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengajukan gugatan pembatalan iuran BPJS Kesehatan, karena telah mewakili kepentingan jutaan warga.

Andai saja MA tidak mengambil keputusan tepat, derita rakyat akan semakin berat. Karena kenaikan iuran yang berlaku terhitung 1 Januari 2020, seperti di luar nalar, melonjak 100 persen. Kelas I yang semula Rp80 ribu/per bulan per jiwa, melonjak menjadi Rp160 ribu/bulan. Kelas II Rp110 ribu/bulan dari semula Rp51 ribu. Sedangkan kelas III, dari Rp25.500 per jiwa per bulan menjadi Rp42.000/bulan.

Naiknya iuran BPJS, ditolak rakyat karena menambah beban pengeluaran di tengah kondisi ekonomi yang saat ini masih morat marit. Pemerintah berdalih menaikkan iuran karena lembaga ini defisit sebesar Rp15,5 triliun. Dari tahun ke tahun terus mengalami defisit, hingga pemerintah harus menambal kerugian dengan menyuntikkan dana. Tapi suntikan dana tak bisa mengatasi ‘sakit kronis’ di lembaga ini.

Sejak awal banyak pihak yang memprediksi lembaga tersebut akan defisit. Selain premi dinilai kecil, banyak pasien dengan berbagai jenis penyakit yang ditanggung, gagalnya mengenjot jumlah peserta, hingga kecurigaan ada permainan tak sehat rumah sakit yang terindikasi berorientasi bisnis. Kondisi ini membuat BPJS Kesehatan rontok.

Indikasi fraud atau kecurangan terorganisir misalnya pasien yang sebetulnya tidak perlu rawat inap, oleh rumah sakit diharuskan dirawat sehingga klaim biaya yang ditanggung menjadi besar. Indikasi kecurangan inilah yang harus ditelusuri supaya jangan terjadi akal-akalan rumah sakit ‘menggerogoti’ dana masyarakat yang dikelola BPJS. Bukan malah membebani masyarakat dengan menaikkan iuran.

Putusan MA membuat masyarakat bisa bernafas lega. Pemerintah pun harus patuh melaksanakan putusan tersebut sesegera mungkin. **

News Update