Minto Hadi adalah mantan juara kelas terbang terbaik Indonesia, era Aseng Promotion Surabaya, yang terkenal sukabagi-bagi uang. Minto Hadi menjadi tuna netra akibat tinju. Bola matanya rusak kemudian salah pengobatan di tangan seorang tabib membuat dunia ini menjadi gelap gulita.
“Saya sangat terimakasih kepada sahabat MintoHadi, juga kepada istri beliau, yang sangat ramah.Selama berguru, saya tinggal di sana dan dikasih makan. Gratis dan itulah arti persahabatan. Mas Minto itu orangnya baik sekali,” katanya.
“Mas Minto tulus mengajari saya. Ini masa depan saya. Usaha pijat bias buka di mana saja.Kapan saja kalau kita mau.Sehari bias menerapi dua pasien, misalkan begitu, berarti saya sudah bias makan untuk hidup,” ujarnya, yang di ujung karir tinjunya pada tahun1990, menikah dengan gadis turunanTionghoa di Surabaya.
Tidak berapa lama sang istri meninggal dunia, 25 tahun silam. Sampai sekarang Suwarno Perico yang belum dikarunia anak kuat menduda. Pernikahan itu tidak memberikan keturunan. Tetapi, Suwarno Perico mempunyai seorang putra sudah lulus SMA, yang diambil sebagai anak angkat sejak orok.
Belum Laku
Sudah lebih dua minggu sejak berguru kepada MintoHadi, Suwarno Perico masih tetap kosong.Belum laku. “Saya sudah usaha promosi via WhatsApp di Tulungagung dan sekitarnya.Ada dua orang yang tertarik, tapi di Mojosari danTuban. Itu terlalu jauh. Tidak mungkin,” katanya.
Barangkali harus lebih sabar lagi. “Saya lulus dan ukuran Mas Minto layak untuk meneruskan pekerjaan sebagai tukang pijat. Makanya saya berani buka sendiri.Saya tidak mau bergantung kepada orang lain. Ndak enak juga.Saya harus mandiri.Sayangnya, kok belum terima pasien. Belum ada orang yang merasakan pijat mantan juara Indonesia. Belum laku, sampai sekarang,” katanya.
Hidup ini bagai roda pedati. Berputar, kadang di ataskadang di bawah. Hidup manusia selaluberubah, kadang kaya dan kadang miskin.
“Sekarang sudah tidak punya apa-apa. Rumah sudah habis terjual,” katanya Suwarno Perico, pernah sebagai anggota wasit/hakim AsosiasiTinju Indonesia (ATI) Provinsi JawaTimur. Namun tinju pro mati suri.Karir wasit/hakim dihentikan.
Dari Kalijudan (tempat terkahirnya di Surabaya) ia merasa dibuang. “Itu saya alami sendiri. Saya ikut mengeluarkan uang untuk renovasi rumah. Belakangan saya dibuang.Tapi sudahlah.Saya sekarang mencoba bangkit dengan usaha pijat.Saya akan terus tawarkan ke teman-teman; ini loh jasa pijat mantan petinju nasional. Ha haha,” iatertawa di ujung telepon.
Tarif pijat, untuk sekali terapi biasanya Rp50.000 ataum sering dikasih lebih sebagai bonus.
“Sebagai permulaan saya tidak pasangtarif.Harga perkenalan. Pokoknya tidak pasang harga.Terserah, wanipiro, ayo tak turuti.”promosinya.
Sebelum ganti profesi tukang pijat, Suwarno Perico sempat bekerja sampai ke Sulawesi Selatan, sebagai sopir perusahaan. (buhari/yp)