'Ngundhuh Mantu' Kahiyang-Bobby Pengukuhan Jatidiri Keindonesiaan

Sabtu 18 Nov 2017, 10:56 WIB

JAKARTA – Rangkaian perhelatan pernikahan putri Presiden Jokoyi, Kahiyang Ayu, dengan Muhammad Afif Bobby Nasution, berlanjut di Medan Sumatera Utara, 18-24 November 2017. Rangkaian acara di Medan,  dalam dari sisi budaya Jawa  bisa disebut ngundhuh mantu. Menurut pakar budaya dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI Depok, Dr Darmoko HK, "Ngundhuh Mantu" merupakan istilah dalam perspektif budaya Jawa yang mengacu pada rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang diselenggarakan setelah selesai acara resepsi perkawinan di lingkungan tempat tinggal pengantin wanita. "Ngundhuh Mantu" (memetik pengantin wanita) diselenggarakan di lingkungan tempat tinggal pengantin pria,” katanya, Sabtu (18/11/2017). Darmoko UI -ist Dr Darmoko HK, dalang wayang kulit yang juga pakar budaya dari FIB UI Dr Darmoko. (ist) Adat budaya  yang dipergunakan sebagai penyelenggaraan "ngundhuh mantu" adalah  Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara di lingkungan kediaman keluarga Bobby Nasution (pengantin pria) yang dihadiri oleh 50 raja. Bobby Nasution memperoleh gelar Sultan Kumala Abdul Rachman Raja, sedangkan Kahiyang Ayu mendapatkan marga "Siregar" oleh pemangku adat Tapanuli Selatan. Menurut dia, upacara "ngundhuh mantu" di dalam masyarakat Batak Tapanuli Selatan dapat dimaknai sebagai strategi dan upaya manusia untuk menyatukan dirinya dengan kosmos (jagad raya). “Persatuan antara manusia dan kosmos sebagai manifestasi penyatuan antara pribadi-pribadi manusia dengan Tuhan,” ujarnya. Dia mengatakan, pada upacara pemberian gelar sultan kepada Bobby Nasution dimaknai sebagai upaya masyarakat untuk menjaga keselarasan relasi antara raja (sultan), rakyat, dan Tuhan. Raja (sultan) merupakan kalifatullah (wakil Tuhan di dunia) yang akan memegang teguh etika ketuhanan. “Perkawinan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution merupakan ekspresi penyatuan diri antara sifat "alus" atau "lembut" (halus) dan "agal" atau "wungkul" (bongkahan). Kehalusan merupakan hakekat dari kekuasaan (kekuatan) yang dapat diperoleh dengan cara pengolahan rasa (batin) secara terus menerus,” katanya. Sehingga, denegan demikian,  manusia selalu hidup untuk "ngudi kasampurnan" (mengupayakan diri untuk menuju kesempurnaan hidup). Kehalusan diperoleh dengan cara melatih pengendalian diri dari gangguan hawa nafsu seperti ngrowot, putih, ngepel dll (tapabrata). Di dalam sistem ideologi Jawa kehalusan selalu dapat mengelola (menguasai) ketidakhalusan. “Dalam konteks perkawinan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, kelak diharapkan Kahiyang Ayu dapat mengelola, menjaga, merawat, dan mengemong Bobby Nasution ("ngrangkani" dan "ngrengkuh"). Hal ini digambarkan dalam suatu adegan (peristiwa) dalam pewayangan yang sering disebut "perang kembang" (bambangan melawan cakil),” ujarnya. Darmoko menegaskan, perkawinan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution dimaknai sebagai upaya penguatan kebudayaan nasional Indonesia. Relasi antara Jawa dan Batak merupakan wujud realisasi dari Indonesia yang berbhineka tunggal ika. “Perkawinan ini merupakan pengejawantahan dari pengukuhan jatidiri keindonesiaan dengan empat saka guru kebangsaan (populer dengan empat pilar kebangsaan), yaitu Pancasila, UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Keterbukaan pola pikir tentang era global membuat perkawinan antar suku dan ras menjadi lebih terbuka,” ujarnya. Dia menambahkan, upacara "ngundhuh mantu" ini dipandang sebagai presentasi etnis Batak pada dimensi global yang berdampak pada termotivasinya bidang-bidang tertentu seperti budaya (tradisi dan adat istiadat), ekonomi, pariwisata, perhotelan, tempat-tempat hiburan dll. Upacara "ngundhuh mantu" terkesan sakral dengan secara rijit mempresentasikan tahapan-tahapan upacara. Sirkulasi finansial ke Medan Sumatra Utara cukup melimpah pada "event" ini disertai maraknya industri sandang dan pangan. “Pemberian gelar kebangsawanan Mandailing Natal, Tapanuli Selatan pada masyarakat Batak kepada kedua mempelai sebagai pesan bahwa keduanya wajib menjaga dan melestarikan adat istiadat dan budaya Batak, khususnya yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Batak Mandailing, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara,” tandas dosen yang juga dalang wayang kulit itu. (*/win)


News Update