POSKOTA.CO.ID - Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada awal Desember lalu kembali membuka mata publik terhadap bahaya siklon tropis.
Peristiwa tersebut dikaitkan dengan kehadiran Siklon Tropis Senyar yang memicu hujan ekstrem di wilayah Sumatra.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Sabtu, 13 Desember 2025, jumlah korban jiwa akibat rangkaian banjir dan longsor di Sumatra mencapai 1.006 orang, sementara 212 lainnya dilaporkan masih hilang.
Selain faktor kerusakan lingkungan seperti deforestasi, Siklon Tropis Senyar disebut berperan besar dalam meningkatkan intensitas curah hujan.
Baca Juga: Awal Karier Hudi Suryodipuro: Sosok Pejabat SKK Migas yang Meninggal Saat Bersepeda
Lantas, apa sebenarnya siklon tropis dan mengapa fenomena ini kini terasa semakin dekat dengan Indonesia?
Apa Itu Siklon Tropis?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, siklon tropis merupakan sistem badai berskala besar yang terbentuk di atas lautan hangat dengan suhu permukaan air lebih dari 26,5 derajat Celsius.
Sistem ini memiliki pusat tekanan rendah dengan angin berputar yang kecepatannya dapat melampaui 63 kilometer per jam.
Secara teknis, siklon tropis didefinisikan sebagai sistem tekanan rendah non-frontal yang berkembang di perairan hangat, disertai awan konvektif dan kecepatan angin maksimum minimal 34 knot, serta bertahan setidaknya enam jam.
Siklon tropis umumnya memiliki radius 150 hingga 200 kilometer. Di pusatnya, terkadang terbentuk wilayah tenang tanpa awan yang dikenal sebagai mata siklon, dengan diameter bervariasi antara 10 hingga 100 kilometer.
Baca Juga: Jadwal dan Lokasi Diskon Tarif Tol 20 Persen di Trans Jawa-Sumatera Sambut Libur Nataru 2025
Mata siklon ini dikelilingi dinding mata, yakni area dengan angin paling kencang dan curah hujan tertinggi.
Menurut BMKG, usia rata-rata siklon tropis berkisar antara tiga hingga 18 hari. Sistem ini akan melemah ketika memasuki perairan dingin atau bergerak ke daratan, karena sumber energinya berasal dari panas laut.
Mengapa Jarang Terjadi di Indonesia?
Siklon Tropis Senyar dinilai sebagai kejadian tidak lazim karena terbentuk dari Bibit Siklon 95B di Selat Malaka, wilayah yang sempit dan dekat dengan garis khatulistiwa.
Fenomena serupa sebelumnya hanya tercatat pada Tropical Storm Vamei pada 2001 di Laut Natuna.
Indonesia secara geografis berada di wilayah ekuator, sehingga jarang dilintasi siklon tropis.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh gaya Coriolis akibat rotasi Bumi, yang relatif lemah di sekitar khatulistiwa sehingga menyulitkan terbentuknya pusaran badai.
Baca Juga: Kejar Target Perekaman Penduduk 100 Persen, Mendagri Minta Ditjen Dukcapil Lebih Agresif
Meski demikian, siklon tropis yang terbentuk di sekitar Indonesia tetap dapat menimbulkan dampak tidak langsung, seperti hujan ekstrem, angin kencang, dan gelombang tinggi, akibat gangguan sistem cuaca skala regional.
Ancaman yang Kian Nyata
Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menegaskan Indonesia tidak lagi sepenuhnya aman dari ancaman siklon tropis.
Pemanasan suhu laut di sekitar perairan Indonesia dinilai memperbesar peluang munculnya tekanan rendah yang dapat berkembang menjadi bibit siklon.
Catatan lima tahun terakhir menunjukkan siklon tropis semakin sering mendekati bahkan memasuki wilayah Indonesia, seperti Siklon Seroja pada 2021 yang menelan ratusan korban jiwa di Nusa Tenggara Timur, serta Cempaka dan Dahlia di wilayah selatan Jawa.
Mantan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, juga mengungkap bahwa pemanasan suhu muka laut mempercepat siklus hidrologi, meningkatkan penguapan, dan memperkuat pembentukan awan hujan.
Perbedaan suhu antara Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan perairan Indonesia turut memicu aliran massa udara basah yang memperparah cuaca ekstrem.
Fenomena regional seperti Madden-Julian Oscillation (MJO) pun dapat memperkuat pembentukan awan hujan di wilayah khatulistiwa, sehingga risiko bencana hidrometeorologi semakin meningkat.
Kewaspadaan Menjadi Kunci
Kehadiran Siklon Tropis Senyar menjadi pengingat bahwa perubahan iklim dan pemanasan global telah menggeser pola cuaca yang selama ini dianggap stabil.
Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan, mitigasi bencana, serta perlindungan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana serupa di masa mendatang.