Kerugian akibat bencana banjir-longsor di Sumatra melebihi kontribusi ekonomi sektor tambang dan sawit yang diduga memicu kerusakan lingkungan. (Sumber: X/@MOQEELFORTRESS)

Nasional

Total Kerugian Bencana Banjir dan Tanah Longsor Sumatera Diperkirakan Capai Rp68,6 Triliun, Siapakah yang Harus Tanggung Jawab?

Senin 08 Des 2025, 16:14 WIB

POSKOTA.CO.ID - Bencana banjir dan tanah longsor besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra pada periode November 2025 tidak hanya meninggalkan duka dan kehancuran infrastruktur, tetapi juga lubang raksasa pada perekonomian.

Laporan terbaru dari lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) membeberkan angka kerugian ekonomi yang fantastis: Rp68,67 triliun.

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia merupakan akumulasi dari penderitaan langsung masyarakat: ribuan rumah rusak, pendapatan keluarga hilang, lahan pertanian terendam, serta tersendatnya distribusi barang hingga terhentinya aktivitas industri.

Lebih dari itu, angka tersebut menjadi bukti yang menohok tentang ketimpangan serius dalam tata kelola lingkungan dan industri ekstraktif di Indonesia.

Baca Juga: Imbas Bencana Alam di Sumatra, Harga Jeruk Medan Melonjak

Kerugian dan Kontribusi: Ketimpangan yang Mencolok

Analisis Celios menunjukkan ironi pahit. Kerugian nasional sebesar Rp68,6 triliun itu jauh melampaui total penerimaan negara dari sektor tambang (Penjualan Hasil Tambang/PHT) yang hingga Oktober 2025 tercatat Rp16,6 triliun.

Di level provinsi, ketimpangan terlihat lebih jelas. Aceh, misalnya, diproyeksikan menderita kerugian hingga Rp2,04 triliun.

Jumlah ini berkali-kali lipat lebih besar daripada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tambang di provinsi tersebut yang hanya Rp929 miliar (per Agustus 2025), atau Dana Bagi Hasil (DBH) dari sawit dan minerba yang hanya mencapai puluhan miliar rupiah.

Perbandingan ini bukan sekadar angka. Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab: jika kerusakan ekologis turut memperparah bencana, siapa yang harus memikul tanggung jawab terbesar: negara atau korporasi?

Baca Juga: Bantuan Rp66 Miliar Digelontorkan, Kemensos Pastikan Logistik Banjir Sumatra Tetap Aman

Akar Masalah: Lebih dari Sekadar Hujan

Para analis sepakat, bencana ini bukan semata-mata takdir cuaca ekstrem. Curah hujan tinggi hanyalah pemicu.

Faktor pendorong utama justru adalah kerusakan lingkungan sistematis:

Aktivitas ini menghilangkan kemampuan tanah menyerap air, mempercepat aliran permukaan, dan meningkatkan kerentanan longsor.

Di banyak wilayah Sumatra, peta konsesi tambang dan perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan resapan air telah lama menjadi catatan kelam.

Ketika tragedi terjadi, masyarakat kecil yang menanggung akibatnya. Sementara, kontribusi ekonomi dari sektor pengubah bentang alam tersebut tidak pernah sebanding dengan biaya pemulihan yang kini harus ditanggung negara.

Desakan Perubahan

Menanggapi temuan ini, sejumlah pakar hukum lingkungan dan lembaga masyarakat sipil mendesak langkah-langkah konkret:

Baca Juga: Peduli Bencana Sumatra, Penyandang Disabilitas Donasi Rp201 Juta

Namun, tantangan terbesar justru ada pada level kebijakan. Kompleksitas tata ruang, lemahnya pengawasan, dan penerbitan izin yang abai terhadap aspek ekologis dinilai sebagai akar masalah yang menyebabkan beban bencana selalu jatuh ke pundak negara dan rakyat.

Di balik angka triliunan rupiah, terdapat ribuan cerita pilu yang tak terhitung. Rumah yang hancur, mata pencaharian yang lenyap, serta trauma yang tertinggal. Kerugian negara mungkin suatu saat bisa dipulihkan, tetapi kehilangan yang dirasakan masyarakat seringkali bersifat permanen.

Kasus banjir Sumatra ini menjadi bukti tak terbantahkan, biaya kerusakan lingkungan jauh lebih mahal daripada keuntungan ekonomi jangka pendek.

Laporan Celios bukan lagi alarm, melainkan sirene keras yang menandai bahwa Indonesia tidak bisa lagi menunda pembenahan fundamental dalam tata kelola sumber daya alam.

Tanpa langkah tegas dan perubahan paradigma dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan dan restoratif, bencana ekologis serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Tags:
perkebunan sawittambangDana Bagi HasilDBHPenjualan Hasil TambangPHTAcehPNBPCeliosSumatraBencana banjir dan tanah longsor

Aldi Harlanda Irawan

Reporter

Aldi Harlanda Irawan

Editor