JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Persoalan akses air bersih masih menghimpit kehidupan warga Muara Angke, Jakarta Utara. Mereka bahkan, harus merogoh kocek ratusan ribu untuk membeli air bersih.
Di tengah padatnya permukiman pesisir, air tanah yang keruh, berbau besi, dan menimbulkan gatal, masih menjadi satu-satunya sumber air untuk mandi dan mencuci.
Sementara untuk air minum dan masak, warga harus membeli air galon atau jeriken dan air isi ulang dengan biaya yang tidak sedikit.
Salah satunya, Sudiarjo, 60 tahun, yang telah tinggal sejak 2003, mengaku, hanya mengandalkan air tanah untuk kebutuhan mandi.
Setiap bulan, ia harus membayar Rp250.000 untuk mendapatkan air tersebut, yang kualitasnya jauh dari layak konsumsi.
Baca Juga: Warga Masih Beli Air Bersih Dalam Jeriken, DPRD DKI Desak PAM Jaya Percepat Perpipaan di Muara Angke
“Kalau enggak direcover saya gatal. Warnanya agak kuning, kayak campuran besi,” ucap Sidoarjo kepada Pos Kota, Kamis, 4 Desember 2025.
Untuk menjernihkan air, ia membeli kapur satu kilogram setiap bulan dengan harga antara Rp40.000 hingga Rp50.000.
Meski begitu, ia tetap harus berhati-hati karena jika tidak terbiasa, air tanah itu bisa memicu iritasi kulit.
Untuk air minum, Sudiarjo membeli air jeriken seharga Rp5.000 per unit. Dalam seminggu, ia membeli dua jeriken untuk kebutuhan masak, sehingga dalam sebulan ia menghabiskan delapan jeriken atau sekitar Rp40.000 hanya untuk air memasak.
“Untuk minum ada lagi, pakai air isi ulang dan kadang air botol,” ujarnya.
Sidoarjo berharap agar Pemda Jakarta dapat segera menyelesaikan persoalan klasik ini agar mereka dapat menikmati akses air bersih yang lebih aman dan terjangkau.
"Ya, mudah-mudahan PAM Jaya dapat bisa masuk ke sini, biar kita ga perlu mahal-mahal buat beli air bersih," kata Sudiarjo.
Dirinya telah tinggal di kawasan itu selama dua dekade, sejak belum banyak bangunan berdiri, namun akses air bersih belum menunjukkan perubahan berarti.
Sementara itu, Erawati, 59 tahun, yang menetap sejak 2012, juga menghadapi masalah serupa. Ia menggunakan air bor dekat musala setempat dengan iuran Rp150.000 per bulan.
Air tersebut digunakan untuk mandi dan mencuci dengan warna keruh, sedangkan untuk kebutuhan memasak dan minum, ia mengandalkan air galon.
“Buat masak itu isi ulang. Kalau untuk cucu pakai galon asli,” katanya.
Erawati mengaku, air galon isi ulang dibeli seharga Rp6.000, sementara galon bermerek untuk cucunya yang berusia masih bayi ia beli seharga Rp22.000.
Baca Juga: Pengamat Tata Kota Sebut Tiga Hambatan Air Bersih Sulit Didapatkan Warga Muara Angke
Dalam sebulan, Erawati dapat menghabiskan hingga lima galon isi ulang, meski jumlah itu tidak menentu.
“Kalau ada dua ya dua, kalau habis beli lagi. Enggak tentu,” ungkapnya.
Namun kebutuhan air bersih tetap menjadi pengeluaran yang tidak bisa dihindari.
Pengakuan dua warga ini menggambarkan betapa krusialnya persoalan air bersih di Muara Angke.
Air tanah yang keruh, mengandung zat besi, memicu gatal, dan tidak layak konsumsi membuat warga harus mengeluarkan biaya tambahan setiap bulan.
Di sisi lain, belum adanya jaringan pipa air bersih yang memadai membuat mereka terpaksa bertahan dengan kondisi yang telah berlangsung bertahun-tahun. (cr-4)