KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Pengamat terorisme dan intelijen, Haris Abu Ulya, menilai pernyataan mengenai ratusan anak yang disebut telah direkrut jaringan teroris perlu dijelaskan dengan parameter yang jelas.
Ia menekankan bahwa istilah direkrut dalam konteks anak-anak tidak boleh digunakan tanpa ukuran terukur mengenai sejauh mana keterpaparan maupun keterlibatan mereka.
“Penjelasan sebelumnya masih ambigu. Tidak jelas parameter penilaiannya. Diksi ‘direkrut’ itu harus clear. Sejauh mana level anak-anak sebagai korban terpapar ideologi jaringan itu terlibat? Apa ukuran seorang anak itu terpapar, tertarik, atau terlibat dalam kondisi sadar?” ujar Haris, saat dikonfirmasi, Selasa, 18 November 2025.
Meski begitu, Haris menegaskan bahwa jika data tersebut benar, maka temuan itu harus menjadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat. Menurut Haris, pola rekrutmen ekstremisme kini berkembang sangat cepat di ruang digital yang sulit diawasi, hingga tidak lagi hanya menyasar orang dewasa.
“Jika data itu benar, ini alarm keras bahwa pola rekrutmen ekstremisme di ruang digital yang sulit diawasi kini tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga anak-anak,” ucap Haris.
Haris menjelaskan bahwa data Densus 88 tersebut menunjukkan dua hal penting yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, persoalan kerentanan anak. Pada usia remaja, mereka sedang mencari identitas, mudah percaya, dan sangat rentan terhadap manipulasi. Kedua, ada adaptasi strategi teroris yang semakin canggih, dengan propaganda yang disamarkan dalam interaksi sehari-hari.
“Mereka menyamarkan propaganda dalam bentuk interaksi yang tampak biasa, seperti obrolan saat bermain game, dan itu menyasar anak,” lanjut Haris.
Namun demikian, Haris juga mengingatkan bahwa ancaman terhadap anak tidak hanya datang dari ekstremisme. Menurutnya, bahaya yang justru nyata dan massal saat ini adalah maraknya judi online (judol) dan permainan daring dengan berbagai modus.
“Di luar sana ada bahaya real yang telah menjangkiti anak-anak kita. Mereka banyak terlibat judol dengan berbagai modus, termasuk lewat game,” kata Haris.
Haris menekankan, rumah dan peran keluarga adalah benteng utama dalam melindungi anak dari berbagai ancaman yang dapat merusak kehidupan mereka, baik lahir maupun batin. Budaya peduli, komunikasi dua arah, dan keteladanan orang tua, menurutnya, sangat penting untuk diperkuat.
“Orang tua perlu membersamai anak dan mengarahkan. Yang urgen lagi adalah keteladanan orang tua,” ujarnya.
Haris kemudian membandingkan isu anak yang disebut terkait jaringan terorisme dengan dampak luas judi online yang merusak generasi muda. Menurutnya, perhatian publik harus diberikan secara proporsional. Salah satunya terkait dengan bahaya Judol yang telah menjangkit generasi muda Indonesia.
“Seratus anak yang ‘terekrut’ jaringan terorisme versus ribuan anak yang hancur karena judol, game online, dan semisalnya. Kita perlu proporsional tidak membesarkan sesuatu yang kecil dan mengecilkan sesuatu yang besar,” jelas Haris.