POSKOTA.CO.ID - Isu mengenai Faisal Tanjung dan transparansi iuran komite kembali menjadi perbincangan nasional. Pemicu terbarunya adalah keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan rehabilitasi bagi dua guru ASN dari Luwu Utara kasus yang sebenarnya telah bergulir sejak 2018 namun kembali mengemuka setelah publik mengkritisi praktik pungutan yang dianggap tidak transparan.
Kasus ini menarik perhatian bukan hanya karena menyangkut pungutan uang dari orang tua siswa, tetapi juga karena melibatkan tata kelola sekolah, aspek moralitas pendidik, sampai batasan kebijakan komite.
Baca Juga: Harga Emas Perhiasan Hari Ini, Jumat 14 November 2025: Stabil di Tengah Geliat Pasar
Awal Mula: Laporan Faisal Tanjung yang Menjadi Sorotan
Nama Faisal Tanjung, seorang aktivis LSM, kembali ramai setelah ia mengunggah penjelasan lewat akun Facebook pada 14 November 2025.
Dalam unggahan itu yang kemudian viral Faisal menjabarkan alasan dirinya melaporkan dua guru ASN yang diduga melakukan pungutan tanpa dasar hukum jelas.
Menurut Faisal, iuran tersebut diklaim sebagai hasil kesepakatan komite sekolah untuk membantu membayar guru honorer. Namun ia menilai dasar keputusan itu cacat secara moral dan administratif.
“Rapat itu hanya dihadiri sekitar 40 persen orang tua. Dengan partisipasi serendah itu, sulit menyebutnya sebagai kesepakatan bersama,” tulis Faisal.
Selain partisipasi rendah, Faisal mengkritik tidak adanya laporan transparan mengenai penggunaan dana baik jumlah yang terkumpul maupun alokasi untuk guru honorer.
Ia menegaskan bahwa tidak ada publikasi terbuka mengenai pengelolaan dana komite tersebut, dan hal inilah yang membuat isu menjadi besar.
Mengapa Mekanisme Pembiayaan Dipertanyakan?
Faisal juga menyoroti bahwa jika tujuan pungutan adalah membantu guru honorer, seharusnya ada mekanisme resmi yang dapat ditempuh, misalnya melalui dana BOS atau pemotongan sukarela dari gaji guru ASN.
Masalahnya, guru honorer yang hendak dibantu tidak terdaftar dalam sistem Dapodik, sehingga tidak bisa menerima gaji dari dana BOS. Kondisi ini membuat munculnya iuran dari orang tua siswa dianggap menjadi cara pintas yang berubah menjadi persoalan hukum.
Kementerian Pendidikan pun mengonfirmasi bahwa ketidakcocokan data Dapodik menjadi akar masalah, sehingga operator daerah dipanggil untuk evaluasi.
Faisal mengingatkan bahwa pemungutan dana tanpa dasar hukum jelas berpotensi dianggap sebagai pungutan liar.
Kilasan Kasus Lama: Vonis Pidana pada Tahun 2018
Meskipun kini kembali ramai, akar kasus ini bermula sejak 2018. Saat itu, dua guru ASN Abdul Muis dan Rasnal mengusulkan iuran sebesar Rp20.000 per bulan untuk membantu guru honorer yang tidak digaji hingga sepuluh bulan.
Mereka mengklaim bahwa keputusan ini dihasilkan dalam rapat komite. Namun laporan dari sebuah LSM membuat kasus merembet ke ranah hukum. Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada keduanya.
Pemerintah Provinsi Sulsel bahkan memberhentikan keduanya dari status ASN.
Abdul Muis, dalam wawancara media online, menjelaskan:
“Saya hanya menjalankan amanah bendahara komite berdasarkan hasil rapat orang tua siswa.”
Ia menyebut bahwa dana digunakan untuk operasional sekolah serta insentif tambahan bagi guru yang memiliki tugas ekstra seperti wali kelas dan pengelola laboratorium.
Iuran Bertahun-Tahun Tanpa Laporan Jelas
Dalam penjelasannya, Faisal juga menyebut bahwa iuran ini berjalan selama empat tahun dengan kisaran Rp20.000–Rp30.000 per bulan. Tidak ada laporan rinci, dan menurutnya hal itu sangat tidak wajar untuk dana yang dikumpulkan dari masyarakat.
“Selama empat tahun, iuran tetap diberlakukan tanpa laporan rinci. Jumlahnya tentu besar.”
Ia juga mengkritik keberlanjutan pungutan selama pandemi, ketika aktivitas sekolah berkurang drastis. Baginya, kebijakan itu tidak memperhatikan situasi ekonomi orang tua yang sedang sulit.
Mengenal Sosok Faisal Tanjung
Faisal bukan nama baru di dunia advokasi Luwu Utara. Berdasarkan penelusuran sejumlah sumber, ia pernah menempuh pendidikan di Universitas Palopo dan merupakan aktivis yang menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Agitasi dan Propaganda DPC GMNI Luwu Utara.
Ia juga tercatat beberapa kali melaporkan KPU daerah ke Bawaslu dan DKPP, menunjukkan konsistensinya dalam menyoroti persoalan-persoalan yang dianggap tidak transparan.
Baca Juga: Anggota DPRD Jabar Abdul Karim Dukung PIT Asal Tak Bebani Nelayan Jawa Barat
Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi: Babak Baru Kasus Ini
Setelah bertahun-tahun menuai polemik, Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberikan rehabilitasi kepada kedua guru tersebut. Pengumuman disampaikan Menteri Sekretaris Negara melalui kanal resmi Sekretariat Presiden pada 13 November 2025.
Pemerintah menyatakan bahwa keputusan ini ditempuh setelah menerima aduan masyarakat serta melakukan koordinasi dengan DPR RI. Rehabilitasi tersebut bertujuan memulihkan nama baik Abdul Muis dan Rasnal.
Lebih jauh, pemerintah menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi pelajaran agar pengelolaan dana publik terutama di lingkungan sekolah harus dilakukan secara transparan dan berdasarkan prosedur.
Isu Faisal Tanjung dan transparansi iuran komite kembali mengingatkan publik bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang yang menuntut akuntabilitas. Transparansi dana komite, mekanisme pendanaan honorer, hingga keterlibatan orang tua harus dikelola dengan hati-hati.
Kasus ini membuat banyak pihak mengadvokasi kebijakan komite yang lebih teratur, penguatan peran Dapodik, dan laporan keuangan yang dapat diakses publik.
Meski kasus hukumnya telah menemukan jalan baru lewat rehabilitasi, diskusi mengenai tata kelola dana sekolah tampaknya tidak akan berhenti di sini dan akan selalu relevan untuk dibahas.