Menurutnya, peristiwa semacam ini dapat meninggalkan trauma mendalam, terutama bagi anak-anak yang melihat sekolah sebagai tempat aman.
"Trauma kolektif bisa mengganggu proses belajar dan rasa percaya pada institusi pendidikan,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan, faktor sosial seperti tekanan akademik, konflik antarsiswa, hingga pengaruh konten berbahaya di internet dapat berperan dalam membentuk perilaku berisiko di kalangan remaja.
Haniva merujuk pada teori Differential Association dan Social Control yang menjelaskan perilaku menyimpang bisa dipelajari dalam interaksi sosial dan diperkuat ketika ikatan sosial dengan sekolah atau keluarga melemah.
Selanjutnya, Haniva merekomendasikan sejumlah langkah pencegahan, di antaranya audit menyeluruh terhadap keamanan fasilitas sekolah, pelatihan darurat bagi guru dan siswa, serta kolaborasi antara pihak sekolah, psikolog, dan kepolisian dalam deteksi dini masalah psikososial siswa.
Baca Juga: Polisi Gali Motif Siswa Diduga Dalang Ledakan SMAN 72 Jakarta
“Sekolah harus membangun budaya keterbukaan dan pengawasan, agar potensi bahaya atau eksperimen berisiko bisa dicegah sebelum menjadi tragedi,” tuturnya.
