Opini Ekonomika Pancasila oleh Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre). (Sumber: Poskota)

SERBA-SERBI

Ekonomika Pancasila: Defisit Daulat Ekonomi

Rabu 05 Nov 2025, 17:12 WIB

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

Bagaimanakah cara suatu bangsa menjadi peradaban besar saat warganya malas dan pejabatnya korup; saat SDA-nya melimpah tapi kelembagaannya birokratis; saat agamanya eskatologis tapi over populasi?

Ini pertanyaan awal saat kami menghadiri focus group discussion (FGD) mengenai Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional di Hotel Sotis, Jakarta.

Diskusi ini mempertemukan para ekonom cum aktifis kritis seperti Gde Siriana Yusuf, Hatta Taliwang, Agus Rizal, Yaya Sunaryo, As'yari, Dedi Setiadi, SN, Andi Syahputra, Firdaus, Syuryani, Hasyim dan Pratama. Sebagian peserta lain kirim tulisan dan mengikuti via zoom.

Sesungguhnya, RUU ini didesain menjadi payung hukum tertinggi dalam sistem ekonomi nasional, namun forum justru diawali dengan kritik tajam mengenai substansi dan arah kebijakan.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Perekonomian Utang

Gde Siriana Yusuf menilai RUU Perekonomian Nasional belum menyentuh kehidupan nyata warga negara. Ia menegaskan, regulasi ekonomi tidak cukup berbasis doktrin normatif; harus berangkat dari realitas empiris seperti UMKM, pekerja transportasi daring, perkembangan ekonomi digital, hingga persoalan ekologi.

Ia juga menyoroti absennya mekanisme partisipasi warga negara dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan ekonomi, padahal RUU ini mendasarkan diri pada asas gotong royong.

Gde juga menekankan perlunya reformasi Dewan Perekonomian agar lebih inklusif serta didukung sistem data terbuka lintas sektor. Menurutnya, indikator keberhasilan ekonomi tidak boleh hanya bertumpu pada PDB, melainkan juga gini ratio, indeks kebahagiaan, dan realisasi nilai-nilai Pancasila.

Selain itu, otonomi daerah harus diperkuat melalui BUMD dan model kepemilikan ekonomi yang melibatkan warga negara. Kuncinya, partisipasi warga.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Tanpa Ideologi, Ekonomi Omong Kosong

Sedangkan ekonom senior SN menegaskan bahwa perekonomian nasional harus berpijak pada ideologi negara dan konstitusi, bukan sekadar mengikuti mekanisme pasar global.

Menurutnya, RUU Perekonomian Nasional penting sebagai instrumen transisi penguasaan sumber daya alam dari swasta kembali ke negara secara bertahap dan adil, bukan represif. Regulasi ini harus bisa memastikan kekayaan alam dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga negara.

Dalam pandangan lanjutannya, SN menyoroti perlunya arah pembangunan jangka panjang semacam GBHN agar kebijakan ekonomi tidak terus berubah tiap pergantian pemerintahan. Ia menilai politik boleh tersentralisasi, namun ekonomi harus didesentralisasikan agar daerah memiliki kemandirian mengelola sumber dayanya.

"Negara menjadi kuat bukan hanya karena kaya, tetapi karena sistem ekonominya inklusif terhadap seluruh warga negara,” ujarnya.

Dengan begitu, menjawab pertanyaan di paragraf awal, maka jawabannya adalah "legislasi progresif pro rakyat" serta "reorientasi ideologis" pada agensinya. Semoga mestakung.

Tags:
ekonomiYudhie HaryonoEkonomika Pancasila

Tim Poskota

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor