POSKOTA.CO.ID - Fenomena fotografer jalanan atau 'fotografer ngamen' yang memotret warga yang sedang berolahraga di ruang publik seperti car free day (CFD) atau taman kota.
Tidak hanya memicu decak kagum atas hasil jepretannya, tetapi juga kecemasan akan privasi dan praktik komersialisasi data pribadi tanpa izin.
Maraknya aktivitas ini bahkan dibayangi tindakan pungutan liar oleh oknum komunitas, seperti yang terjadi di Tebet Eco Park. Menanggapi hal ini, otoritas digital dan pemerintah daerah memberikan respons yang tegas namun berbeda penekanannya.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengingatkan bahwa aktivitas memotret warga di jalan berpotensi melanggar undang-undang.
Baca Juga: DPD RI Awards 2025, Sultan: Banyak Pahlawan Daerah yang tak Kesorot Kamera
Fotografer Memotret Warga Olahraga di Jalan
Peringatan ini disampaikan menyusul kekhawatiran publik atas potensi penyalahgunaan data pribadi, terutama dengan adanya fotografer yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi wajah dan mengunggah hasilnya ke platform digital.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital (Wasdig) Komdigi, Alexander Sabar, menegaskan pihaknya melakukan pengawasan aktif terhadap fenomena tersebut.
“Ditjen Wasdig Komdigi melakukan pengawasan aktif dan responsif, termasuk menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran UU Perlindungan Data Pribadi (PDP),” ujar Alexander.
Alexander menegaskan bahwa foto, terutama yang menampilkan wajah, adalah data pribadi. Karena itu, memotret tanpa izin bisa dianggap melanggar hukum.
“Setiap kegiatan pemotretan dan publikasi foto wajib memperhatikan aspek etika dan hukum pelindungan data pribadi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dasar hukum yang harus dipatuhi. “Setiap bentuk pemrosesan data pribadi, mulai dari pengambilan, penyimpanan, hingga penyebarluasan, harus memiliki dasar hukum yang jelas, misalnya melalui persetujuan eksplisit dari subjek data,” jelasnya.
Sebagai langkah solutif, Komdigi berencana mengundang asosiasi fotografer untuk membangun pemahaman bersama mengenai etika dan hukum dalam fotografi di ruang publik.
Respons Pemerintah Provinsi DKI: Boleh Asal Tidak Memaksa
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi, Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Pramono Anung mengambil pendekatan yang lebih longgar selama aktivitas tersebut tidak disertai pemaksaan. Hal ini disampaikannya menanggapi viralnya kasus pungutan liar di Tebet Eco Park.
“Nggak ada larangan untuk orang memotret. Tetapi kalau memaksa menjual potretnya, ya nggak boleh. Seperti yang terjadi di Tebet Eco Park, langsung saya tertibkan,” ujar Pramono.
Pramono menekankan bahwa Jakarta adalah kota terbuka yang memungkinkan semua orang mencari nafkah, termasuk para fotografer. Namun, prinsip sukarela harus dijunjung tinggi. “Suka sama suka saja. Saya sering sekali juga kalau difoto, fotonya bagus, ya saya ambil,” katanya.
Baca Juga: Komisi X DPR Dorong Revisi UU Sisdiknas Perkuat Pendidikan Keagamaan dan Pesantren
Tebet Eco Park: Pungutan Rp 500.000 Bukan untuk "Izin Motret"
Kasus yang memicu kemarahan publik terjadi di Tebet Eco Park, di mana seorang fotografer dilaporkan dimintai uang sebesar Rp500.000 oleh sebuah komunitas yang beroperasi di sana.
Pengelola taman, melalui Kasie Taman Kota, Dimas Ario Nugroho, segera melakukan klarifikasi. Dimas menegaskan bahwa Pemprov DKI tidak pernah menerapkan biaya untuk aktivitas fotografi.
“Kami dari pihak dinas tidak melarang adanya aktivitas fotografi di dalam area taman, baik itu dari komunitas maupun perorangan. Dari pihak dinas maupun teman-teman di lapangan tidak mengeluarkan izin khusus,” imbuh Dimas.
Dari hasil pemanggilan, terungkap bahwa komunitas yang menamai diri Komunitas Fotografer Tebet Eco Park tersebut tidak berafiliasi dengan pengelola taman. Mereka membuat sistem internal sendiri, termasuk rompi dan ID card.
Perwakilan komunitas membantah melakukan pemerasan. Mereka menyatakan bahwa uang Rp500.000 adalah iuran anggota baru.
“Rp500.000 itu dibayarkan di awal untuk member baru. Itu kesepakatan bersama di komunitas,” ujar perwakilan komunitas. Menurutnya, dana tersebut digunakan untuk pembuatan ID card dan rompi (sekitar Rp250.000) dan sisanya untuk kas komunitas kegiatan sosial.
Baca Juga: Kemnaker Buka Program Magang Nasional Batch 2, Siapkan 80 Ribu Kuota untuk Lulusan Baru
Titik Temas Hukum dan Etika
Perbedaan respons antara Komdigi dan Pemprov DKI menyoroti kompleksitas masalah ini. Di satu sisi, UU PDP memberikan perlindungan kuat terhadap privasi warga, yang dapat mencakup aktivitas memotret di ruang publik.
Di sisi lain, ruang publik sendiri adalah area yang secara tradisional terbuka untuk berbagai ekspresi dan mata pencaharian, termasuk fotografi.
Kebijakan Pemerintah DKI yang membolehkan fotografi asal tidak memaksa, meski populis, mungkin belum sepenuhnya menjawab persoalan mendasar tentang "persetujuan eksplisit" yang diamanatkan UU PDP. Sementara itu, masyarakat yang difoto tanpa izin mulai merasa hak privasinya terganggu.
Kedua pihak sepakat bahwa literasi digital dan etika bagi fotografer serta masyarakat luas menjadi kunci. Langkah Komdigi yang akan berdialog dengan asosiasi fotografer dinilai sebagai langkah tepat untuk menemukan titik keseimbangan antara kebebasan berekspresi di ruang publik dan penghormatan terhadap hak privasi setiap individu.