Siapa Sebenarnya Siswa Agit? Penggagas Petisi Batalkan TKA 2025 yang Viral di Medsos

Selasa 28 Okt 2025, 19:33 WIB
Mengapa Siswa Agit Menolak TKA 2025? Ini Alasan Lengkap di Balik Petisi yang Viral di Change.org (Sumber: istimewa)

Mengapa Siswa Agit Menolak TKA 2025? Ini Alasan Lengkap di Balik Petisi yang Viral di Change.org (Sumber: istimewa)

POSKOTA.CO.ID - Pada tanggal 26 Oktober 2025, sebuah petisi daring dengan judul “Batalkan Pelaksanaan TKA 2025” muncul di platform Change.org, diklaim dibuat oleh seorang pengguna bernama Siswa Agit. Hingga Selasa, 28 Oktober, petisi itu telah ditandatangani sebanyak 134.242 orang.

Fenomena ini menghebohkan dunia pendidikan nasional karena berhadapan langsung dengan kebijakan baru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek) yaitu Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan dilaksanakan tahun 2025 untuk jenjang SMA/SMK.

Baca Juga: Rekomendasi Ponsel dengan Layar AMOLED Harga Rp2 Jutaan Terbaik 2025, Ini Daftarnya

Apa itu TKA?

Tes Kemampuan Akademik (TKA) adalah asesmen nasional yang diperkenalkan oleh Kemdikbud-Ristek sebagai bagian dari sistem penilaian pendidikan yang lebih modern dan terstandar. Berikut poin pentingnya:

  • TKA bersifat sukarela — artinya siswa tidak dipaksa untuk mengikuti.
  • Hasilnya tidak menentukan kelulusan satuan pendidikan.
  • Adapun tujuan utama TKA adalah untuk memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar secara nasional, serta menjamin akses siswa dari jalur formal, nonformal, dan informal agar hasilnya “setara”.
  • Untuk jenjang SMA/SMK (kelas 12) di tahun 2025, TKA dijadwalkan berlangsung antara 1–9 November 2025.
  • Materi mata ujian meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris sebagai mapel wajib, dan dua mata pilihan sesuai jurusan.

Dengan kata lain: TKA hadir sebagai alat ukur tambahan (bukan pengganti rapor atau kelulusan) untuk mengecek sejauh mana siswa menguasai aspek akademik yang dianggap penting secara nasional.

Petisi “Batalkan TKA 2025” dan Sosok Siswa Agit

Petisi yang diluncurkan pada hari Minggu, 26 Oktober 2025 oleh pengguna dengan nama akun Siswa Agit menarik perhatian publik, sebab dalam waktu singkat telah mencapai ratusan ribu tanda tangan.

Siapa Siswa Agit?

  • Nama Siswa Agit tampaknya adalah akun di Change.org, bukan nama asli seseorang.
  • Dalam pengantar petisi, ia mengaku sebagai siswa kelas 12 yang akan menghadapi TKA.
  • Namun, klaim tersebut belum dapat diverifikasi secara publik atau resmi.
  • Oleh karena itu, identitas dan konteks lengkap pelopor petisi masih agak misterius.

Kehadiran petisi ini mencerminkan keresahan yang cukup luas di kalangan siswa — ataupun setidaknya suara yang merasa didengar oleh publik — terhadap pelaksanaan TKA ini.

Alasan Petisi: Apa yang Diungkap Siswa Agit

Dalam petisinya, Siswa Agit mengemukakan sejumlah poin kritik dan keberatan terhadap pelaksanaan TKA 2025, antara lain:

  1. Tekanan tambahan
    Ia menyebut bahwa pelaksanaan TKA menjadi tambahan beban mental dan akademik, karena muncul “tiba-tiba” untuk jenjang SMA tanpa pemberitahuan memadai — yang bagi siswa kelas 12 dianggap sangat krusial.
  2. Waktu persiapan yang terbatas
    Menurut petisi, pengumuman kisi-kisi, regulasi, dan simulasi pelaksanaan TKA terlalu mendekati pelaksanaan ujian. Misalnya, regulasi baru untuk TKA telah diundangkan ketika tahun ajaran sudah berjalan. Dalam satu bagian petisi disebut, “Dari 14 Juli hingga 3 November … hanya 112 hari sekitar 3,5 bulan” sebagai waktu yang tersedia untuk persiapan.
  3. Materi yang dianggap terlalu luas dan kurang terarah
    Adanya dua mata pilihan ditambah mapel wajib membuat siswa merasa “tak tahu mana yang akan muncul”, sehingga persiapan menjadi kurang fokus.
  4. Ketidakpastian dukungan sekolah
    Petisi menyebut, banyak sekolah yang belum memberikan dukungan memadai (fasilitas, bimbingan, simulasi) apalagi siswa kelas 12 yang berada di tahap penyelesaian belajar.
  5. Sinkronisasi dengan Kurikulum Merdeka dan pelaksanaan ujian lain
    Siswa Agit juga menyebut bahwa dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka (yang memberi fleksibilitas lebih kepada guru), pelaksanaan TKA terhadap siswa kelas 12 jadi terasa “tidak cocok kombinasi”-nya, karena jadwal, materi, dan metode pembelajaran belum tampak stabil.

Secara ringkas: petisi ini lahir dari kombinasi kekhawatiran soal kecepatan pengenalan TKA, kesiapan siswa & sekolah, serta beban psikologis yang dirasakan oleh siswa-kelas akhir.

Reaksi, Masalah, dan Implikasi bagi Dunia Pendidikan

Kehadiran petisi ini memunculkan sejumlah refleksi penting untuk dunia pendidikan:

  • Reaksi murid & publik: Penandatanganan sebanyak 134.242 orang menunjukkan bahwa isu ini tidak hanya soal satu individu, tetapi resonansinya cukup besar di kalangan siswa, orang tua, dan guru.
  • Tantangan implementasi kebijakan: Pelaksanaan TKA sebagai kebijakan baru menuntut kesiapan baik dari pemerintah pusat, satuan pendidikan, guru, dan siswa. Ketidaksiapan dapat menimbulkan ketidakadilan atau ketidaknyamanan.
  • Penyetaraan dan keadilan pendidikan: Salah satu tujuan TKA adalah untuk menjamin bahwa hasil belajar dari jalur formal, nonformal, dan informal bisa “disetarakan”. Namun ketika siswa merasa persiapan tidak merata, tujuan ini justru bisa menjadi paradoks.
  • Psikologi siswa: Bagi siswa kelas 12, periode ini sudah sangat krusial persiapan masuk perguruan tinggi, beasiswa, presentasi diri, dan seleksi. Menambah satu asesmen baru dengan tekanan tinggi bisa mempengaruhi kesehatan mental.
  • Kebijakan dan komunikasi: Kebijakan besar seperti TKA butuh komunikasi yang jelas, transisi yang lancar, dan sosialisasi yang tepat agar semua pihak (siswa, guru, orang tua) merasa “ikut” bukan “terlambat diberitahu”.
  • Peran sekolah & guru: Sekolah dan guru menjadi kunci dalam mendukung persiapan TKA baik secara materi, simulasi, bimbingan, serta juga menyikapi aspek non-akademik seperti stres & motivasi.

Baca Juga: Harga Emas Pegadaian Hari Ini Selasa 28 Oktober 2025: Galeri24 dan UBS Stabil, Antam Tak Tersedia

Bagaimana Siswa, Guru, dan Orang Tua Harus Merespon

Berikut beberapa pedoman untuk masing-masing pihak agar menghadapi TKA dan dinamika yang muncul secara lebih siap:

Untuk Siswa (kelas 12 khususnya):

  • Pastikan memahami regulasi, tanggal, dan alur pelaksanaan TKA (pendaftaran, simulasi, pelaksanaan ujian).
  • Buat rencana belajar yang realistis: prioritaskan materi wajib dulu (Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris) lalu masuk ke dua mata pilihan.
  • Ikuti simulasi dan try-out sebanyak mungkin untuk membiasakan diri dengan format dan tekanan.
  • Kelola stres dan beban: istirahat cukup, diskusikan bersama teman/guru bila ada yang tidak jelas.
  • Gunakan hasil TKA sebagai peluang, bukan sebagai beban tambahan. Karena meskipun bersifat sukarela, hasilnya bisa menjadi nilai tambah atau alat seleksi.

Untuk Guru & Sekolah:

  • Lakukan sosialisasi jelas kepada siswa dan orang tua terkait TKA: tujuan, manfaat, hak dan kewajiban siswa.
  • Sediakan fasilitas simulasi atau try-out internal agar siswa terbiasa.
  • Cermati bahwa Kurikulum Merdeka memberi fleksibilitas—manfaatkan fleksibilitas tersebut untuk menyesuaikan pembelajaran dengan persiapan TKA.
  • Perhatikan aspek psikologis siswa: terutama kelas 12–13 di mana beban tinggi. Libatkan konselor atau guru BK.
  • Gunakan data awal (hasil simulasi) untuk mengetahui area kelemahan siswa dan beri bimbingan tambahan sesuai kebutuhan.

Untuk Orang Tua:

  • Sabar dan komunikatif: pelajari bersama anak tentang apa itu TKA, jangan menekan secara berlebihan.
  • Dukung lingkungan belajar di rumah: pastikan anak punya waktu dan ruang untuk persiapan, tetapi juga istirahat.
  • Ajak anak berdiskusi bukan hanya soal “nilai tinggi”, tetapi juga soal pemahaman, kesiapan mental, dan strategi.
  • Jangan lupa: hasil TKA bukan satu-satunya penentu masa depan berapa banyak jalur dan pilihan yang terbuka.

Petisi “Batalkan TKA 2025” karya Siswa Agit sejatinya adalah wake-up call bagi dunia pendidikan kita: perubahan sistem besar seperti TKA bisa memunculkan keresahan bila implementasi, komunikasi, dan kesiapan belum optimal.

Namun di sisi lain, TKA sendiri memiliki maksud baik: memberikan ukuran yang lebih standar terhadap capaian akademik siswa, menyetarakan jalur formal dan nonformal, serta menjadi data yang bisa mendukung proses seleksi pendidikan selanjutnya.

Satu hal yang jelas: perubahan membutuhkan waktu, persiapan, dan dukungan bersama bukan sekadar kebijakan turun dari atas ke bawah. Bila semua pihak saling mendukung siswa, guru, orang tua, sekolah, pemerintah maka TKA bisa berubah dari “momok” menjadi “peluang”.

Mari kita lihat petisi ini bukan sebagai penolakan mutlak, tetapi sebagai sinyal bahwa kesiapan dan kejelasan sangat diperlukan kapan pun kebijakan baru pendidikan diperkenalkan.


Berita Terkait


News Update