“..pola hidup sederhana,urip sak madyo, bukan berarti hidup miskin ( tidak berharta benda). Tetapi bagaimana menata diri agar hidupnya tidak berlebihan. Dapat membatasi diri dengan perbuatan semestinya, bukan yang tidak semestinya. Bukan ngoyo, bukan pula neko – neko..”
-Harmoko-
---
Pola hidup sederhana sepertinya perlu digelorakan kembali menjadi gerakan nasional, di tengah upaya pemerintah menggenjot berbagai program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan, membuka sebanyak mungkin lapangan kerja, serta menggerakan ekonomi rakyat.
Ini memerlukan keteladanan para elite negeri negeri melalui aksi nyata, bukan sebatas retorika dan imbauan belaka. Menggunakan produk dalam negeri salah satu di antaranya, tak terkecuali penggunaan fasilitas produk dalam negeri seperti mobil Maung, bagi pejabat negara, tak hanya wujud kesederhanaan, juga mencintai produk buatan bangsa sendiri.
Bagaimana kecemburuan sosial dapat dihapuskan, jika sebagian elite masih tampil menjaga gengsi dengan kemewahan – sering disebut flexing.
Memang, untuk hidup sederhana sebaiknya bukan melalui pemaksaan, tetapi akan lebih baik jika datang sendiri atas dasar kesadaran.
Begitu pentingnya perilaku sederhana dalam kehidupan sehari – hari, maka para pendiri negeri ini mensarikannya ke dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, agar menjadi tuntunan sepanjang masa.
Anjuran agar tidak boros dan tidak bergaya hidup mewah seperti dirumuskan dalam butir- butir sila kelima Pancasila, merupakan cerminan dari pola hidup sederhana, dalam bahasa Jawa disebut - urip sak madyo, sebagaimana kehendak para founding fathers kita.
Para pendiri negeri meyakini bahwa pola hidup sederhana yang dibarengi dengan “kaya hati”,bukan “miskin hati” akan mendorong terwujudnya kemakmuran dan keadilan sosial.
Sak madyo, tentunya bukan saja dalam sikap perbuatan, juga ucapan yang kadang lebih tajam memamerkan kemewahan lebih dari fakta yang sebenarnya. Karenanya perlu menjaga mata agar tidak silau atas kepemilikan orang lain. Menjaga hati agar tidak tergoda dengan beragam keinginan yang melebihi kemampuan. Menjaga diri agar dijauhkan dari rasa gengsi, itulah cerminan “kaya hati”.
Hidup boros dan kemewahan juga dapat melahirkan embrio penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, yang berujung pada tindakan korupsi. Kita paham betul, korupsi berpotensi dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan, kekuasaan dan kewenangan.
Yang hendak saya sampaikan adalah ajakan hidup sederhana bukan datang tiba- tiba, bukan pula diterapkan seketika karena dibutuhkan, tetapi hendaknya menjadi pedoman hidup sehari – hari pada segala macam situasi, lebih – lebih di era sekarang ini.
Baca Juga: Kopi Pagi: Lumbung Rakyat
Embrio munculnya kecemburuan sosial dapat dipupus lewat perilaku kehidupan sederhana yang dapat mencerminkan rasa empati di saat orang lain hidup serba kekurangan. Sangat tidak berperasaan, di saat orang lain sedang terbelit kesulitan ekonomi, kita malah menebar kemewahan seolah ikut menertawakan yang pada akhirnya dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Patut diingat, pola hidup sederhana bukan berarti hidup miskin ( tidak berharta benda). Tetapi bagaimana menata diri agar hidupnya tidak berlebihan. Dapat membatasi diri dengan perbuatan semestinya, bukan yang tidak semestinya. Bukan ngoyo, bukan pula neko – neko, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Kuncinya, pikiran kita harus diarahkan kepada hal yang positif, maunya kita harus dibatasi, gengsi kita akhiri.
Hidup sak madyo akan pula menuntun kita untuk menghormati alam sekitarnya. Sikap tidak boros akan berdampak pula pada penggunaan sumber daya alam sekitar. Tentu, penggunaan sumber daya alam akan lebih hemat karena hanya akan digunakan sesuai kebutuhan, bukan dihamburkan.
Hidup sederhana, hendaknya dimanifestasikan pula dengan sikap tidak boros pangan.
Jangan karena kita sudah berlimpah stok pangan, surplus beras yang diperkirakan antara 3 sampai 4 juta ton di akhir tahun 2025 ini, jangan lantas menghamburkan makanan pokok kita.
Kita hargai jerih payah para petani yang telah menyiapkan makanan bagi penduduk seluruh negeri, dengan hemat pangan, bukan malah membuang banyak makanan karena memasak berlebihan.
Jangan kita bersusah payah mewujudkan swasembada pangan, sudah terwujud sebagian menjadi sisa makanan yang terbuang.
Baca Juga: Kopi Pagi: Setahun Pemerintahan Prabowo
Stop boros pangan, hendaknya menjadi bagian dari perilaku hidup sederhana seluruh elemen bangsa siapa pun dia, kapan pun dan di manapun.
Stop boros pangan juga menjadi perhatian dunia, di tengah ancaman krisis pangan global yang dipicu perubahan iklim dan ketidakstabilan distribusi.
Ironisnya, di tengah ratusan juta orang di dunia alami kerawanan pangan, lebih satu miliar ton makanan terbuang begitu saja setiap tahunnya.
Negeri kita, juga mencatat setiap tahun antara 23 – 48 juta ton makanan terbuang menjadi sampah (food waste) menjadi sampah dengan kerugian ekonomi ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Ini terjadi akibat konsumsi yang berlebih, takut kurang.
Jika hemat pangan,dari makanan yang terbuang tadi, dapat memberi makan puluhan juta orang.
Mari kita kian meneguhkan pola hidup sederhana melalui aksi nyata, dalam ucapan dan perbuatan, tak terkecuali dalam pola konsumsi. (Azisoko)