JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Jakarta Pusat, telah mengidentifikasi kondisi RW 12 Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, sebagai kawasan dengan indikator kumuh berat.
Staf Khusus (Stafsus) Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim menyampaikan, Pemprov Jakarta melalui DPRKP telah melakukan program bedah kampung untuk mengatasi masalah permukiman padat.
"Langkah konkret utama adalah program Bedah Kampung 2025, yang dimulai November 2024 dan berlanjut hingga akhir 2025," ucap Chico kepada Poskota, Minggu, 12 Oktober 2025.
Program bedah kampung itu, kata Chico, mencakup pembangunan hunian vertikal sementara untuk mengurangi overcrowding.
Baca Juga: Satu Keluarga Tidur Sif-sifan di Tanah Tinggi, Pramono: Ini Realitas Jakarta
"Dengan prioritas relokasi 50-100 keluarga awal ke rusunawa terdekat (seperti Rusun Tanah Tinggi RW 14)," ujar Chico.
Lebih lanjut, Chico mengatakan bantuan renovasi darurat juga dilakukan untuk 10-20 rumah per batch.
"Termasuk penambahan ruang tidur modular, dengan anggaran dari APBD DKI dan BAZNAS," kata Chico.
Selain itu, Chico mengatakan, DPRKP juga melakukan pemantauan melalui aplikasi SIRUKIM (Sistem Integrasi Ruang Kumuh) untuk data real-time kepadatan, dengan target pengurangan 20 persen kasus tidur bergantian pada akhir 2025.
Bukan hanya bedah kampung, Chico mengungkapkan, DPRKP juga menargetkan pembangunan 1.912 unit rusun baru hingga akhir 2025, dengan alokasi khusus untuk kawasan padat seperti Tanah Tinggi.
Untuk wilayah Tanah Tinggi, dikatakan Chico DPRKP telah melakukan revitalisasi Rusun Tanah Tinggi RW 14 yang sudah beroperasi sejak 2024 dengan penambahan 200 unit pada 2025.
"Termasuk fasilitas MCK dan ruang komunal, melalui kolaborasi dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)," ujarnya.
Tak hanya itu, Chico menyampaikan, DPRKP menyiapkan relokasi bertahap 300 keluarga dari RW 12 ke rusun baru di Johar Baru atau Jagakarsa.
"Dimulai kuartal IV 2025, dengan subsidi sewa Rp500.000/unit/bulan melalui program Samawa DPRKP," ungkapnya.
Dalam laporannya, DPRKP mencatat 445 RW kumuh di DKI, termasuk Tanah Tinggi, yang dievaluasi ulang akhir tahun ini untuk intervensi prioritas.
Berdampak Pada Kesehatan Mental
Sementara itu, pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyampaikan, fakta adanya keluarga yang tinggal berdesakan di satu rumah hingga harus gantian tidur, bukan hal baru dan mencerminkan masalah struktural serius dalam tata ruang maupun perumahan warga miskin kota.
Menurut Yayat, di sejumlah kawasan padat penduduk di Jakarta, satu rumah dengan ukuran sempit bisa dihuni hingga 20 orang, sehingga ruang istirahat menjadi sangat terbatas. Akibatnya, penghuni rumah harus tidur secara bergantian dalam tiga waktu atau sif.
Baca Juga: Potret Ketimpangan Sosial di Jakarta, Warga Tanah Tinggi Harus Tidur 'Sif-sifan' karena Rumah Sempit
"Apa dampaknya terkait dengan tidur sif-sifan? Biasanya dalam tidur sif-sifan ini yang terganggu adalah kesehatan mental," ucap Yayat kepada Poskota, Minggu 12 Oktober 2025.
Menurut Yayat, tidur bergantian bukan hanya persoalan ruang, tetapi berdampak langsung terhadap kesehatan fisik dan mental penghuninya.
Ia menjelaskan, kualitas tidur yang buruk dan jam tidur yang tidak mencukupi bisa memicu stres, penurunan daya tahan tubuh, dan gangguan hormon.
"Dan biasanya dengan masalah yang seperti ini, efek sampingnya ya itu tadi, bisa membuat kualitas kesehatan mentalnya turun, kesehatan fisiknya turun. Dan berujung pada kondisi emosionalnya," ungkap dia.
Kondisi tersebut, dikatakan Yayat, turut menghambat perkembangan pendidikan dan kecerdasan anak-anak. Mereka kesulitan belajar karena tidak memiliki ruang dan waktu yang tenang.
“Kalau di rumah sempit, tidur susah, belajar susah, ya bagaimana anak-anak bisa fokus belajar. Akibatnya kualitas pendidikan turun,” kata Yayat.
Ia menilai, meski Pemprov DKI Jakarta telah menggulirkan berbagai program bantuan sosial seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS), program tersebut tidak akan efektif jika lingkungan tempat tinggal warga tetap tidak sehat dan tidak layak huni.
“Kita banyak memberikan bantuan Jakarta Pintar, Jakarta Sehat, tapi kalau warganya hidup di rumah yang sempit, kurang tidur, lingkungannya tidak sehat, maka bantuan itu tidak akan mengubah kualitas hidup mereka,” tegas Yayat.
Atas dasar itu, Yayat menekankan, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada bantuan tunai atau program pendidikan dan kesehatan, tetapi juga memperbaiki lingkungan permukiman padat sebagai akar masalah.
"Jadi ada bagusnya program penanganan permukiman ini harus juga kita perbaiki terlebih dahulu, sebelum kita secara jor-joran memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat tapi masyarakatnya sendiri hidupnya dalam kondisi dengan kualitas hidup yang sangat rendah," kata dia. (cr-4)