Kopi Pagi: Kebijakan Berbasis Kebutuhan. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Kebijakan Berbasis Kebutuhan

Senin 06 Okt 2025, 06:59 WIB

Selain bijak, perlu kompak dalam melaksanakan kebijakan.Ada keterpaduan dalam merespons situasi yang terjadi, adanya kesatupaduan dalam menanggapi dampak yang terjadi atas kebijakan yang akan dan telah digulirkan..”, kata Harmoko.

Banyak peristiwa penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia yang terjadi pada bulan Oktober. Setidaknya, terdapat tiga peristiwa bersejarah: Pertama, Hari Kesaktian Pancasila. Kedua, Hari TNI. Ketiga, Hari Sumpah Pemuda. Selain, tentunya, masih ada hari penting lainnya seperti Hari Batik Nasional dan Hari Parlemen Indonesia.

Di bulan Oktober, juga ada momen perjalanan politik bagi bangsa Indonesia, yakni pelantikan Presiden RI yang dilakukan setiap tanggal 20 Oktober untuk periode lima tahun sekali.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilantik pada 20 Oktober 1999. Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2004 untuk periode pertama, dan dilantik kembali menjadi Presiden RI untuk periode kedua, pada 20 Oktober 2009.

Baca Juga: Kopi Pagi: Reformasi (Moral) Politik

Begitu juga dengan Joko Widodo yang dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014 dan 20 Oktober  2019. Tak terkecuali presiden yang sekarang.

Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden ke-8 RI untuk masa jabatan 2024 -2029 dalam Sidang Paripurna MPR yang diselenggarakan di Gedung Nusantara MPR/DPR RI Jakarta, pada Minggu kliwon, 20 Oktober 2024.

Akankah tanggal pelantikan presiden mengalami perubahan, seiring menguatnya tuntutan adanya reformasi politik? Jawabnya tidak mengalami perubahan, jika mengacu kepada masa kerja presiden sekarang akan berakhir 20 Oktober 2029. Maknanya, pada tanggal tersebut sudah ada pelantikan presiden baru.

Akankah pula pada hari itu akan menjadi momen politik bagi keberlanjutan kepemimpinan nasional yang sekarang? Jawabnya sejarah yang akan membuktikan.

Yang jelas, pada Oktober 2025 tahun ini adalah genap setahun Presiden Prabowo Subianto memimpin bangsa dan negara kita tercinta. Berbagai upaya memajukan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengatasi pengangguran dan kemiskinan telah dilakukan melalui sejumlah  program unggulan.

Di tengah beragam pujian dan sanjungan, di sela kepuasan publik, tak sedikit terselip kritik. Ini keniscayaan, sejatinya kritik itu kehendak publik adanya perbaikan atas manfaat program yang sedang berjalan.

Perlunya evaluasi kebijakan secara menyeluruh, tak terkecuali pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) seperti dikehendaki kalangan DPR, bukan berarti program itu buruk. Justru karena program itu baik, memberi banyak manfaat bagi rakyat, manifestasi dari keadilan sosial, maka perlu dikawal dan dievaluasi agar ke depannya tidak salah kelola.

Baca Juga: Kopi Pagi: Jangan Tunggu Hari Esok

Tak hanya MGB, evaluasi menyeluruh atas semua program unggulan agar berjalan secara baik dan benar, serta tepat sasaran, tidak bisa ditunda lagi. Permintaan maaf dari pelaksana program, stakeholder, harus dibarengi dengan perbaikan yang secara nyata dapat langsung dirasakan masyarakat.

Pencapaian target hendaknya selaras dengan upaya peningkatan kualitas dari program itu sendiri. Bukan target tercapai, tetapi kualitas kian buruk, penyimpangan acap terjadi. Jangan sampai kata peribahasa: nila setitik, rusak susu sebelanga. Apalagi jika banyak titik nila.

Jangan sampai timbulkan kesan, kebijakan kejar tayang, anggaran jumbo, minim pengawasan.

Itu pula perlunya evaluasi secara menyeluruh terhadap program yang hendak digulirkan.

Menganulir (membatalkan) setiap kebijakan setelah menuai penolakan publik- sering disebut kebijakan reaktif setelah viral, di satu sisi akan membuat masyarakat happy, tetapi jika acap terjadi, dalam jangka panjang akan mendatangkan distrust (ketidakpercayaan).

Publik boleh jadi akan berspekulasi bahwa kebijakan dimaksud lebih berbasis kepentingan, bukan kebutuhan masyarakat.

Menguatnya gelombang tuntutan rakyat atas perubahan secara mendasar menandai kian meningkatnya harapan publik atas kebijakan realistis berbasis kebutuhan masyarakat, bukan kepentingan elitis dan populis. Kebijakan yang berkeadilan, tidak memihak, tetapi memikat dan memberi banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Kopi Pagi: Regenerasi Petani Bukanlah Mimpi

Hendaknya kebijakan semacam ini berlaku universal, bukan parsial. Diberlakukan berkelanjutan sepanjang masa, bukan sepenggal masa. Diterapkan kepada semua orang, bukan segelintir atau sekelompok orang.

Selain bijak, perlu kompak dalam melaksanakan kebijakan. Ada keterpaduan dalam merespons situasi yang terjadi, adanya kesatupaduan dalam menanggapi dampak yang terjadi atas kebijakan yang telah digulirkan. Bukan yang satu “ngalor” yang satunya lagi “ngidul”, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Bukan pula lempar tanggung jawab, saling menyalahkan untuk mencari pembenaran diri demi keselamatan diri. Dirinya yang paling pandai, hebat, baik dan benar.

Pepatah berbahasa Jawa mengatakan: Ojo kuminter mundak keblinger, ojo cidro mundak ciloko – jangan merasa paling pandai agar tak salah arah, jangan curang agar tidak celaka.

Mari lebih bijak dan kompak membangun negeri menjadi lebih baik lagi. (Azisoko)

Tags:
bangsa IndonesiaperistiwaKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor