POSKOTA.CO.ID - Kasus perselisihan antara mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Imam Muslimin yang lebih dikenal publik dengan sebutan Yai Mim dan tetangganya, Nurul Sahara, kembali menjadi sorotan publik.
Konflik yang awalnya hanya berakar dari masalah sederhana terkait parkir mobil rental, kini berkembang menjadi polemik yang melibatkan aspek hukum, sosial, dan akademik.
Masalah Parkir Mobil di Tanah Wakaf
Melansir dari podcast Youtube @Curhat Bang Denny Sumargo, persoalan bermula di kawasan Kelurahan Merjosari, Kota Malang, Jawa Timur, tempat keduanya berdomisili. Nurul Sahara diketahui menjalankan usaha rental mobil dan sering memarkir kendaraan usahanya di depan rumah Yai Mim.
Baca Juga: Pemprov Jabar Tegaskan Tidak Ada Pembatasan Sampah ke TPA Sarimukti
Namun, menurut Yai Mim, lahan tersebut sejatinya merupakan tanah wakaf yang semestinya difungsikan sebagai akses jalan umum, bukan untuk kepentingan bisnis pribadi.
Dalam sebuah pernyataannya, Yai Mim menegaskan, “Tanah itu bukan milik pribadi, tapi bagian dari fasilitas umum. Tidak seharusnya digunakan untuk parkir mobil usaha.”
Pernyataan itu menjadi titik awal munculnya ketegangan antara keduanya. Awalnya, perdebatan masih bersifat lokal dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, seiring waktu, situasi semakin memburuk dan melibatkan pihak berwenang.
Konflik yang Merembet ke Ranah Hukum
Seiring meningkatnya tensi di lingkungan sekitar, Yai Mim dan Sahara kemudian saling melaporkan satu sama lain ke kepolisian. Laporan yang diajukan mencakup berbagai tuduhan, mulai dari pencemaran nama baik, fitnah, hingga pelecehan.
Keduanya sama-sama mengklaim menjadi korban perlakuan tidak adil.
Salah satu poin menarik dalam perkembangan kasus ini adalah ketika konflik turut mempengaruhi ranah akademik. Yai Mim dilaporkan meminta agar status akademik Nurul Sahara sebagai mahasiswa program doktoral Universitas Brawijaya (UB) dicabut. Namun, pihak kampus menegaskan bahwa mereka akan menunggu hasil proses hukum yang sedang berjalan sebelum mengambil keputusan administratif apa pun.
Pihak UB menyatakan secara resmi bahwa lembaga akademik tidak dapat bertindak tanpa dasar hukum yang sah. Pernyataan ini menunjukkan sikap hati-hati kampus agar tidak terjebak dalam konflik pribadi yang bersifat eksternal.
Keterlibatan Warga dan Surat Pengusiran
Ketegangan di antara dua pihak ini tidak hanya berdampak pada mereka secara pribadi, tetapi juga menyebar ke lingkungan tempat tinggal. RT dan RW setempat bahkan sempat mengeluarkan surat pengusiran terhadap Yai Mim, dengan alasan situasi sudah mengganggu ketertiban warga.
Namun, pakar hukum menegaskan bahwa surat pengusiran tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam konteks hukum perdata dan pidana Indonesia, warga tidak berwenang mengusir seseorang dari tempat tinggal yang dimiliki sah secara hukum. Dengan demikian, Yai Mim tetap berhak secara hukum menempati rumahnya.
Upaya Mediasi dan Isu SARA yang Sempat Mencuat
Berbagai upaya mediasi telah dilakukan oleh pihak kelurahan, tokoh masyarakat, hingga aparat kepolisian. Namun, hingga saat ini belum ditemukan titik temu.
Dalam proses mediasi tersebut, sempat muncul isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang menimbulkan kekhawatiran publik.
Namun, aparat kepolisian dan tokoh masyarakat segera meluruskan persepsi publik, menegaskan bahwa konflik ini murni bersifat pribadi, tidak terkait perbedaan keyakinan atau etnis.
Konflik yang Melebar ke Ruang Publik
Kasus Yai Mim dan Nurul Sahara kini menjadi contoh konkret bagaimana masalah kecil dapat membesar karena komunikasi yang buruk dan eskalasi emosi. Awalnya sekadar soal parkir mobil, kini telah melibatkan laporan hukum, isu sosial, dan dampak akademik.
Perdebatan di media sosial pun semakin memperkeruh suasana. Banyak warganet yang terbagi dua kubu: sebagian mendukung Yai Mim karena dianggap memperjuangkan hak tanah wakaf, sementara sebagian lain bersimpati kepada Nurul Sahara yang merasa diperlakukan tidak adil oleh sosok yang memiliki latar belakang akademik dan keagamaan kuat.
Proses Hukum Masih Berjalan
Hingga kini, penyidikan di kepolisian masih berlangsung. Berbagai laporan dari kedua belah pihak sedang diverifikasi oleh aparat untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Sementara itu, masyarakat sekitar berharap kasus ini dapat segera diselesaikan tanpa memperpanjang ketegangan di lingkungan.
Sejumlah pihak juga mendesak agar mediasi lanjutan difasilitasi secara profesional oleh lembaga netral, agar solusi yang muncul dapat diterima oleh kedua belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan sosial.
Publik pun menantikan bagaimana aparat kepolisian akan menuntaskan berbagai laporan yang telah masuk, sekaligus memastikan keadilan dan ketertiban sosial tetap terjaga.
Baca Juga: 5 HP Gaming 3 Jutaan Terbaik 2025, Performa Ngebut Tanpa Bikin Kantong Jebol
Analisis Sosial: Dari Konflik Mikro ke Dampak Makro
Kasus ini memperlihatkan bagaimana konflik sosial bisa tumbuh dari masalah yang tampak sepele. Awalnya soal parkir kendaraan, kemudian menjalar ke ranah hukum, akademik, hingga sosial budaya. Fenomena seperti ini menggambarkan perlunya pendekatan komunikasi dan mediasi yang lebih efektif di tingkat komunitas.
Selain itu, kasus Yai Mim juga menjadi pengingat bahwa status sosial dan pendidikan tidak menjamin penyelesaian konflik yang damai. Ketika ego dan persepsi publik ikut bermain, konflik bisa menjadi simbol ketegangan sosial yang lebih luas di masyarakat.
Konflik antara Imam Muslimin alias Yai Mim dan Nurul Sahara menjadi cermin bahwa setiap permasalahan sosial membutuhkan penyelesaian yang berbasis empati, hukum, dan komunikasi terbuka. Tanpa itu, persoalan sederhana dapat berkembang menjadi konflik panjang yang memecah masyarakat.
Hingga kini, belum ada titik akhir dari perkara ini. Kedua belah pihak masih bersikukuh dengan pendiriannya, sementara publik menunggu keputusan hukum dan hasil mediasi resmi.
Kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat luas, bahwa penyelesaian damai dan komunikasi terbuka jauh lebih efektif daripada langkah hukum yang berkepanjangan.