POSKOTA.CO.ID - Dulu pernah heboh dengan suara “telolet…”, bunyi klakson bus antarkota - antarprovinsi yang disukai, hingga anak - anak berjejer di pinggir jalan menunggu bus idolanya lewat membunyikan klakson berirama merdu itu.
Pengemudi bus dengan senang hati membunyikan klaksonnya berulang - ulang, sementara anak- anak bersorak ria. Dua aktivitas yang saling mendukung untuk menciptakan kebahagian,
Kini, lagi viral, bukan soal klakson kendaraan, tetapi sirine, strobo dan rotator kendaraan di jalan raya.
Kehadirannya bukan diharapkan seperti “telolet”, tetapi ditolak publik, dengan gerakan moral :stop sirine dan strobo, kecuali ambulance dan damkar.
Baca Juga: Obrolan Warteg: Jangan Remehkan Orang Lain
Publik protes suara “tot tot .wuk wuk” karena aksesoris tersebut acap digunakan tidak sesuai aturan sehingga mengganggu kenyamanan lalu lintas di jalan raya maupun jalan tol. Ini bagian dari gerakan moral antiarogansi, dengan membangun etika di jalan raya,
“Kita sering menyaksikan agar tidak terjebak kemacetan, strobo dan sirine dinyalakan,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi,
“Dengan membunyikan strobo dan sirine, mobil bisa mendahului kendaraan lain yang memberi jalan,” tambah Yudi.
“Masyarakat paham, jika tot tot wuk wuk di belakang berbunyi, tanda ada rombongan pejabat penting mau lewat. Mereka lagi ngurus negara dan rakyat, maka perlu mendapat prioritas di jalan,” urai mas Bro.
“Tapi kadang terlihat, sebuah mobil dinas membunyikan strobo untuk meminta jalan, di tengah kepadatan arus lalu lintas baik ketika berangkat maupun pulang kerja,” ujar Heri.
Baca Juga: Obrolan Warteg: Buka Tutup, Biasa
“Kadang menggunakan bahu jalan tol ya,” ujar Yudi.
“Mungkin lagi buru - buru, ditunggu rapat penting mengurus bangsa dan negara,” kata Heri.
“Semoga apa yang kita duga begitu adanya. Jika tidak, berarti menggunakan fasilitas, aksesoris untuk kepentingan pribadinya,” kata Yudi.
“Yang lebih tahu mana kepentingan negara, mana pula yang bersifat pribadi adalah pengguna strobo dan sirine. Jika aksesoris itu melekat karena jabatan dan kekuasaan, dapat digunakan ketika diperlukan. Tetapi jika sebatas tempelan, beda lagi ceritanya,” ujar Heri.
“Tak sedikit pejabat memilih tidak menggunakan strobo dan sirine ketika melakukan perjalanan. Mereka menikmati kemacetan bersama pengguna jalan lainnya yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat,” ujar mas Bro.
“Yang begini ini, pejabat panutan rakyat. Ikut merasakan apa yang dirasakan rakyat,” kata Heri. (Joko Lestari)