“Pemimpin harus bisa merasakan denyut nadi masyarakat, paham derita rakyat, kebutuhan rakyat dan apa yang menjadi harapan rakyat. Dan, sesegera mungkin mencari solusi melalui aksi nyata, bukan sebatas wicara..”, kata Harmoko.
Gelombang protes rakyat dalam beberapa hari terakhir kembali mewarnai jalanan ibu kota.Aksi massa meluas ke sejumlah ke ibukota provinsi, kabupaten/kota di Indonesia seperti Bandung, Cirebon, Tegal, Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan, dan Makassar.
Demonstrasi yang berujung kericuhan telah menelan korban, termasuk seorang pengemudi ojek online yang meninggal tragis setelah ditabrak mobil baracuda Brimob.
Baca Juga: Kopi Pagi: Keberagaman Antar Kesejahteraan
Kantor aparat yang dibakar massa hanyalah simbol dari amarah yang tak lagi terbendung. Situasi ini menjadi alarm keras bahwa ada sesuatu yang salah dalam tata kelola negara, dan harus segera dibenahi.
Presiden Prabowo berada di titik krusial. Publik menuntut ketegasan. Bukan lagi saatnya memberi toleransi kepada pimpinan aparat yang gagal menjaga marwah hukum dan kepercayaan rakyat.
Nama Kapolri Listyo Sigit Prabowo kini menjadi sorotan utama. Pemecatannya dianggap sebagai langkah awal untuk memulihkan kepercayaan dan menegakkan keadilan yang telah lama tercederai.
Pemimpin sejatinya bekerja untuk rakyat. Mereka digaji oleh rakyat, dan segala wewenang yang melekat pada jabatan hanyalah mandat dari rakyat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Aktualisasi Jati Diri
Karena itu, suara rakyat yang menuntut perubahan tidak boleh dianggap angin lalu. Tuntutan agar negara kembali berpihak pada rakyat bukanlah permintaan berlebihan, melainkan hak konstitusional warga negara.
Di tengah sulitnya ekonomi, publik justru disuguhi tontonan wakil rakyat yang hidup berlebihan. Media sosial menjadi panggung untuk mempertontonkan kemewahan, sementara rakyat harus berjibaku mencari sesuap nasi.
Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan dengan enteng menyebut rakyatnya sendiri “tolol”. Sebuah cermin betapa jauhnya jarak empati antara rakyat dan mereka yang seharusnya mewakili rakyat.
Di sisi lain, kasus korupsi justru makin menggila. Tidak hanya warisan masa lalu yang belum terselesaikan, tapi kasus-kasus baru terus bermunculan. Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan oleh KPK adalah potret mutakhir dari bobroknya moral sebagian pejabat. Alih-alih menjadi teladan, mereka justru mempermainkan amanah demi keuntungan pribadi.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menjaga Konstitusi Negara
Hukum semakin terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ketidakadilan semakin telanjang terlihat. Rakyat kecil diproses hukum dengan cepat, keras, dan tanpa ampun, sementara pejabat atau orang kuat sering lolos dengan berbagai cara.
Ketidakadilan ini menambah bara kemarahan rakyat, karena mereka merasakan negara tidak lagi hadir untuk melindungi, melainkan menekan.
Ketika ekonomi sulit, pemimpin semestinya hadir memberi arah dan pengharapan. Namun yang terlihat justru sebaliknya: kebijakan yang tidak berpihak, aparat yang represif, dan hukum yang terkesan manipulatif.
Tidak mengherankan bila rakyat kini semakin sensitif, karena penderitaan yang mereka tanggung tidak sebanding dengan kepekaan pemerintah dan para wakilnya.
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1)
Demonstrasi yang terjadi bukan sekadar letupan emosional, melainkan akumulasi dari rasa ketidakadilan, kesenjangan, dan kekecewaan.
Rakyat menuntut hak mereka, menagih janji-janji negara yang sejak lama diabaikan. Dan, ketika tuntutan itu tidak dipenuhi, maka aksi turun ke jalan menjadi bahasa terakhir yang bisa mereka lakukan.
Di sinilah Presiden Prabowo ditantang sejarah. Apakah ia akan mengambil langkah tegas untuk merombak tatanan yang bobrok, atau justru membiarkan warisan kepemimpinan sebelumnya terus menjadi beban?
Pemecatan Kapolri Listyo Sigit bisa menjadi simbol awal reformasi yang nyata, sekaligus pesan keras bahwa negara kembali ke jalur keberpihakan pada rakyat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (2)
Namun langkah itu saja tidak cukup. Presiden Prabowo juga perlu segera melakukan reshuffle kabinet secara menyeluruh. Kabinet hari ini masih terlalu kental dengan jejak rezim lama dan diisi oleh sejumlah figur bermasalah.
Jika Asta Cita ingin diwujudkan dengan cepat, maka dibutuhkan zaken kabinet—kabinet yang diisi orang-orang mumpuni, profesional, dan bersih dari konflik kepentingan. Sudah teruji memiliki integritas moral yang tinggi.
Reformasi menyeluruh di segala bidang adalah keharusan. Bukan hanya sektor keamanan, tapi juga hukum, ekonomi, politik, hingga moral kepemimpinan.
Bangsa ini tidak akan pernah maju jika pemimpin dan wakil rakyatnya tidak memiliki sikap handarbeni (merasa memiliki) dan hangrungkebi (bertanggung jawab sepenuhnya) terhadap rakyat yang mereka pimpin.
Pemimpin harus bisa merasakan denyut nadi masyarakat, paham derita rakyat, kebutuhan rakyat dan apa yang menjadi harapan rakyat. Dan, sesegera mungkin mencari solusi melalui aksi nyata, bukan sebatas wicara, wacana dan retorika semata, seperti acap dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (3)
Dalam budaya Jawa seorang pemimpin, di antaranya diharapkan meniru watak bumi (mahambeg mring kismo), yakni menjadi sumber kehidupan, memenuhi kebutuhan hidup, mengerti apa yang dibutuhkan rakyatnya.
Dalam menyikapi situasi sekarang, saatnya Presiden Prabowo membuktikan bahwa kepemimpinannya berbeda dari masa lalu.
Bahwa ia tidak sekadar melanjutkan warisan salah arah yang ditinggalkan rezim Jokowi 2014–2024, tetapi membawa bangsa ini ke arah baru yang lebih adil, tegas, dan sejahtera. Sejarah menunggu langkah besar itu, dan rakyat masih percaya bahwa perubahan sejati bisa dimulai dari sekarang.(Azisoko).