POSKOTA.CO.ID - Tanggal 31 Agustus 2025 menjadi momentum penting dalam karier politik Bella Shofie Rigan Nasution. Lewat unggahan di akun Instagram pribadinya, Bella mengumumkan pengunduran diri dari DPRD Kabupaten Buru, Maluku.
Bagi sebagian masyarakat, kabar ini memang mengejutkan, meski isu ketidakhadirannya di kantor DPRD sudah lama menjadi perbincangan.
Pengunduran diri ini bukan sekadar langkah politik, melainkan refleksi personal yang sarat makna. Bella menuliskan bahwa sejak 14 Agustus 2025 ia sudah mengajukan surat resmi kepada DPW Partai NasDem Maluku, partai yang mengantarkan dirinya lolos ke legislatif pada Pemilu 2024.
Di balik keputusan itu, tersimpan dilema besar yang kerap dihadapi figur publik: bagaimana menyeimbangkan tanggung jawab sebagai wakil rakyat dengan panggilan hati sebagai seorang ibu dan istri.
Baca Juga: Kapan Jadwal Persib Bandung vs Borneo FC Setelah Ditunda? Cek Info Selengkapnya
Alasan Bella Shofie Mundur: Keluarga sebagai Prioritas
Dalam keterangannya, Bella menyampaikan bahwa politik menuntut dedikasi penuh. Sementara itu, kehidupan pribadi, terutama peran sebagai ibu, tidak bisa dinegosiasikan.
Ia menulis:
“Di tengah riuhnya amanah publik, ada suara lembut yang memanggil dari rumah, suara seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang tak tergantikan. Demi menjawab panggilan itu, saya memilih menepi agar tetap menjaga amanah keluarga sekaligus marwah Partai NasDem.”
Pernyataan ini menggambarkan betapa berat keputusan yang diambilnya. Bella tidak ingin sekadar menjadi politisi simbolis. Ia menyadari, jabatan wakil rakyat menuntut kehadiran fisik dan komitmen penuh waktu.
Dengan mundur, Bella justru menegaskan integritasnya. Ia memilih jujur pada keterbatasannya, ketimbang mempertahankan posisi tanpa mampu maksimal menjalankan tugas.
Respons Publik dan Polemik Artis di Dunia Politik
Sebelum pengunduran diri, Bella memang sempat menuai kritik karena jarang terlihat hadir di kantor DPRD. Isu ini mengundang pertanyaan: sejauh mana artis yang terjun ke politik mampu menyesuaikan diri dengan realitas birokrasi dan tuntutan konstituen?
Fenomena artis masuk politik bukan hal baru di Indonesia. Popularitas memang memberi keuntungan elektoral, namun ekspektasi publik jauh lebih tinggi. Figur publik dituntut membuktikan bahwa keterpilihan bukan sekadar hasil popularitas, tetapi juga diikuti kinerja nyata.